Jumat, 14 Desember 2012

Pembangunan Ruang Serba Guna Mir'atul Hayat






No.         :  004/Panpel-RSG/XII/2012                                                        Depok, 14 November 2012 
Lamp.    :  1 Set Photo
Hal         :  Ucapan Terima Kasih.
   
     
Kepada Yth,
………………………………..
………………………………..
di
      T e m p a t


Assalamu’laikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Ilahi Robbi, yang memberi kesempatan  kepada kita semua untuk menikmati kehidupan ini. Semoga Allah SWT. tetap melimpahkan Rahman dan Rahim-Nya kepada kita semua. Shalawat dan Salam semoga tetap terlimpah kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.

Selaku Pengurus Yayasan Mir’atul Hayat, Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak/Ibu/Saudara yang telah berpartisipasi dan berkenan menyisihkan sebagian rezekinya,          sehingga Pembangunan Ruang Serba Guna Mir’atul Hayat mulai dapat kami laksanakan.

Selanjutnya, disampaikan bahwa progress pembangunan Ruang Serba Guna Mir’atul Hayat sampai dengan sekarang Alhamdulillah telah mencapai 75% (foto kegiatan pembangunan terlampir).

Sudah barang tentu kegiatan yang kami laksanakan di atas tidak berhenti sampai disini. sehingga apabila    Bapak/Ibu/Saudara berkenan ikut berpartisipasi kembali atau menjadi Donatur rutin sebagai dukungan dan kepedulian terhadap Perbaikan Ke-Imanan dan Ke-Islaman lewat Yayasan Mir’atul Hayat,            kami dengan tangan terbuka menerimanya.

Demikian ucapan terima kasih dari kami dengan Doa dan harapan, semoga apa yang Bapak/Ibu/Saudara lakukan mendapatkan Ridho dari Allah SWT. Amiin ya Robbal ‘Alamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh


PANITIA PELAKSANA
PEMBANGUNAN RUANG SERBA GUNA
YAYASAN MIR’ATUL HAYAT
                 Ketua                                                                                                              Sekretaris
                                                                                                                                                      
              Drs. Hilmi                                                                                                     Udik Sulistiyono
Mengetahui
DEWAN  PEMBINA
YAYASAN MIR’ATUL HAYAT

Ketua
   
                                                              H. Suratno, SE.

Jumat, 09 November 2012

Makna Rangkaian Tembang Macapat Jawa



Makna Rangkaian Tembang Macapat Jawa
Diposting oleh : Ipung

Rangkaian sastra yang di bubuhkan dalam bentuk tembang Macapat Jawa yang diawali dari mijil sampai pucung bisa diartikan sebagai unsur yang mengkiaskan fase-fase kehidupan manusia Jawa. dilihat dari perspektif alur dan makna yang terkandung dalam rangkaian tembang Macapat Jawa tersebut, adalah sebuah rangkaian alur kehidupan dan keberadaan manusia (ontologi), cara menemukan hakikat hidup yang benar (epistemologi), dan sekaligus mempunyai nilai etik jawa (aksiologi). Dalam hal ini ketiga unsur tersebut adalah kerangka yang membangun filsafat Jawa itu sendiri, Menurut Suro Gendeng seorang pelaku budaya dan sepiritual asal Matesih Kab. Karanganyar.
Menurutnya, fase kehidupan manusia Jawa itu cenderung bersifat sirkuler yaitu dari A sampai Z lalu kembali ke A lagi, maka, pada tembang Macapat Jawa rangkaiannya diawali dari maskumambang sampai pucung. Unsur-unsur yang dimaksud adalah tentang guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru gatra, adalah hal yang menyatakan banyaknya baris dalam setiap bait, sedangkan guru wilangan, merupakan hal yang menyatakan banyaknya suku kata dalam tiap-tiap lirik, dan guru lagu, itu yang menyatakan unsur bunyi pada suku kata terakhir pada tiap-tiap gatra atau lirik.
Dikatakannya bahwa untuk mekmanai nilai filosofis dalam rangkaian tembang Macapat adalah dengan urutan sebagai berikut : Maskumambang (4 gatra), Mijil (6 gatra), Kinanti (6 gatra), Sinom (9 gatra), Asmarandana (7 gatra), Gambuh (5 gatra), Dhandhanggula (10 gatra), Durma (7 gatra), Pangkur (7 gatra), megatruh (5 gatra), dan pucung (4 gatra). "Dalam struktur Guru wilangan, yakni maskumambang diawali dengan guru wilangan 12 dan pucung diakhiri dengan guru wilangan 12". Jelasnya. Dengan demikian dalam perspektif struktur dan alur yang ada, rangkaian tersebut sudah tersusun secara filosofis. Hal ini juga selaras dengan tangga nada tembang Jawa yang diawali dari nada 1 (dibaca: ji) dan diakhiri dengan nada 1 aksen (dibaca: pi). "Tambah dia".
Selanjutnya, makna yang tersirat dalam rangkaian tembang tersebut juga mengkiaskan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi Jawa yang juga tersusun secara sirkuler sejak dari rahim ibu kandung hingga kerahim Ibu Pertiwi. Makna yang tersirat pada tembang Macapat Jawa adalah sebagai berikut:
Maskumambang menyiratkan tentang keberadaan manusia ketika masih jadi bayi dalam rahim atau kandungan sang Ibu. Kata mas artinya belum bisa diketahui jenis kelaminnya, kata Kumambang artinya terapung, jadi maskumambang diartikan sebagai sesuatu yang belum diketahui jenis kelaminnya yang terapung dalam rahim Ibunya (guagarbha).
Kemudian, ketika si bayi lahir dari guagarbha sang Ibu, ini dilambangkan dengan tembang Mijil. Kata Mijil berarti keluar. Jadi, bayi yang terlahir dari rahim Ibu ke dunia, dalam istilah Jawa disebut mijil saking gua garbha sang biyung "lanjutnya".
Setelah itu sibayi akan menjadi seorang anak kecil, pada masa ini ia harus khinanti atau disertai, ditunggui atau di bimbing. Khinanti sesuai asal katanya khanti yakni serta atau nanti, maka seorang anak yang masih kecil harus disertai oleh seorang pembimbing.
Seiring perkembangan waktu, maka sianak akan tumbuh menjadi remaja atau bocah enom atau enom-enoman (taruna). Fase ini dilambangkan dengan tembang Sinom. Sinom juga merupakan nama bagi daun asam yang masih muda. Dalam istilah konotasi bahasa Indonesia, orang yang masih muda belia dikatakan sebagai daun muda.
Pada masa muda inilah maka seseorang akan mengenal asmara atau cinta yang merupakan kodrat manusia sebagi makhuk yang juga dilahirkan dari benih-benih cinta. Masa ini digambarkan dalam bentuk tembang macapat Asmarandana, hal ini sesuai dengan arti kata yang membentuk gabungan kata asmarandana dari kata asmara yang berarti cinta dan ndana yang berarti memberi. Ada juga yang mengartikan kata ndana ini dari kata dahana yang berarti api, maksudnya, ketika masa muda api cinta seseorang akan berkobar-kobar.
Sehabis memasuki masa-masa indah atau masa berpacaran yang didasari dari rasa cinta tersebut, maka kedua insan itu harus diberi persetujuan (sarujuk) sebagai obat (gambuh) yang bisa menurunkan panasnya kobaran api asmara tersebut. ini dilambangkan dengan tembang Gambuh itu sendiri , dan gambuh yang dimaksud adalah upacara perkawinan (wiwaha homa). Untuk menjalani hidup bebrayan .
Tatkala itulah mereka mengarungi bahtera rumah tangga baik suka maupun duka, ini dilambangkan dengan tembang Dhandhanggula.  Kata dhandhang berarti burung gagak yang melambangkan kesedihan, sedang gula yang berarti manis sebagai lambang kebahagiaan. Untuk itulah maka setiap keluarga dalam masyarakat jawa harus mampu melampaui kehidupan rumah tangga yang kadang manis seperti gula namun kadang juga harus mau menelan pil pahit sebagi obat untuk menjadikan mereka lebih tangguh dan tanggap dalam setiap keadaan.
Disela-sela perjalanan untuk menggapai semua cita-cita dalam hidup berumah tangga tersebut, maka mereka diwajibkan untuk dapat memberikan yang terbaik (darma) baik untuk keluarga dan sesamanya. Kesemuanya ini dilambangkan dalam tembang Durma. Kata durma sendiri berkaitan erat secara filosofis dengan kata derma atau drema. Karena perubahan bunyi maka derma bisa menjadi durma.
Setelah melewati bahtera rumah tangga maka sudah saatnya mereka mengurangi hawa nafsu dan mungkur dari hal-hal yang berbau kemewahan duniawi. Hal ini dilambangkan dengan tembang Pangkur . kata itu berasal dari kata pungkur atau mungkur yang berarti belakang atau sudah lewat, dalam tradisi jawa setelah manusia menginjak usia tua, maka mereka harus bisa menjadi sesepuh yang bisa memberiakn petuah-petuah kepada anak cucunya. Dan memang dalam kasanah sastra Jawa, tembang pangkur ini biasanya banyak mengandung petuah-petuah yang berisikan pada ngelmu tuwa guna memperbaiki (nyepuh) sesuatu agar menjadi lebih baik.
Dalam usianya yang semakin tua setelah menjalani hidup pasca berumah tangga, maka bagi seorang manusia hanyalah tinggal menunggu giliran datangnya ajal. untuk itu, sebelumnya manusia harus mempersiapkan bekal yang cukup agar kelak ketika ajal menjemput atau mati bisa tenang di alam keabadian. Kondisi ini merupakan perlambang yang merupakan kesan pada tembang Megatruh. Kata ini berasal dari kata pegat yang berarti putus, dan ruh yang berarti nyawa, artinya putus hubungan antara ruh atau nyawa dengan badan atau raga. Selain itu, lanjutnya, secara badani ia sudah megat trah yang berarti berpisah dengan keturunannya.
Setelah mati (megatruh) maka atma atau nyawa akan meninggalkan badan atau raganya didunia yang fana ini. Badan atau raga yang ditinggalkan biasanya akan dirawat sebagaimana mestinya. Jasadnya akan dimandikan hingga akhirnya dibungkus dengan kain putih (dipocong). Ini adalah makna dari adanya tembang pucung yang juga berarti pocong, setelah dipucung atau di pocong maka ia akan dikembalikan ke rahim Ibu pertiwi untuk disemanyamkan disana.
Selain itu, menurut Surogendeng, jika pada saat didalam rahim Ibu kandungnya ia ditemani sedulur papat (lambang maskumambang dengan guru gatra 4), maka ketika dipocong di rahim Ibu pertiwi tersebut ia juga harus mengembalikan sedulur papatnya (lambang pucung dengan guru gatra 4) hingga nantinya ia dapat kembali kepada gustinya (manunggaling kawulo atau mukso).
Menyimak uraian diatas, maka aspek filosofis yang terkandung dalam struktur alur dan makna rangkaian tembang Macapat Jawa tersebut adalah menggambarkan siklus kehidupan manusia dari sebelum lahir, lahir, hidup sampai mati, meskipun tidak dipungkiri bahwa rangkaian tembang Macapat Jawa juga memiliki sifat multidimensi yang bisa dipandang dari segala sudut. Tapi terlepas dari itu semua,  aspek filosofi yang terkandung semestinya bisa dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia agar manusia bisa hidup secara  teratur, berhati-hati atau eling lan waspada, tabah menjalaninya dan akhirnya akan tercapai tujuan akhir atau dalam istilah jawa disebut dengan tata, titi, tatag dan tutug.

//ipung

Rabu, 17 Oktober 2012

SUFISME DAN SYARI’AH



SUFISME DAN SYARI’AH
    
    I.            PENDAHULAN
Sebelumnya sufisme sudah berperan dalam menggerakkann dunia islam untuk merdeka lepas dari penjajahan bangsa-bangsa barat pada pertengahan abad ke-20 setelah itu dunia islam menyadari bahwa walau sudah lepas dari penjajah bangsa-bangsa barat, disebelah barat didunia islam masih jauh tertinggal dibidang Ekonomi dan Iptek. Sufisme sebenarnya tidak pernah mengajarkan umtuk menjauhi urusan kehidupan dunia.
Hanya saja praktik tasawuf yang berlebihan dapat mengurangi perhatian terhadap kepentingan hidup duniawi.
Sedangkan hukum islam atau Syari’ah menurut teori klasik adalah perintah Tuhan yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Syari’ah merupakan sistem ketuhanan yang mendahului negara Islam dan tidak didahului olehnya. Mengontrol masyarakat islam dan tidak dikontrol olehnya.
Hanya Allah semata yang merupakan penguasa bagi Negara Islam. Dialah yang memberikan kepada Negara kekuatan tertinggi untuk mengontrol. Demikian pula otoritas Mutlakdan Independent.[1]
    
II.            RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini akan membahas mengenai sufisme dan Syari’at antara lain meliputi persoalan
1.      Pengertian Sufisme dan Syari’ah
2.      Tujuan dan cara pendekatan Sufisme
3.      Tujuan dan cara pendekatan Syariah
4.      Persamaan dan perbedaan Sufisme dan Syariah

   III.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian Sufisme dan Syari’ah
Golongan Sufi yaitu golongan Islam yang pengalaman agamanya diperoleh melalui tasawuf sejak sekitar Abad kedua Hijriyah atau sekitar Abad ke-9 masehi sedangkan golongan sayariah adalah kaum yang dalam segala hal berpegang pada norma-norma Hukum. Kedua kaum ini lahir dari suatu proses perkembangan budaya dalam memahami Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber hukum pertama.
Dalam perjalanan sejarahnya kedua golongan ini pernah menunjukkan ketidak serasian dalam menampakkan dan menilai penglaman keagamaan. Bahwa semua ulama Sufi dan Ulama Syariah tidak saling menghargai. Imam Al ghozali pernah mencoba mempertemukan kedua Golongan itu tapi usahanya belum berhasil secara maksimal. Ternyata setelah masa Al ghozali masih terjadi hukum Bunuh seperti yang dialami oleh Al Hallaj yaitu seorang Sufi penganjur Al Isro’an, Sukhrowardin Al Maktul. Landasan kedua golongan tersebut masih sering terjadi kesalahan dikarenakan tidak mengetahui Argument masing-masing yang digunakan dalam golongan itu.[2]

2.      Tujuan dan cara pendekatan Sufisme
Kaum Sufi kadang-kadang dibagi menjadi 2 golongan yaitu golongan yang mempercayai keEsaan Allah dan golongan yang mempercayai kesatuan wujud. Adapun golongan yang mempercayai keEsaan Allah termasuk kategori Tsawuf Akhlak yaitu golongan yang mengutamakan Tasawuf sebagai alat untuk pembentukan Akhlak Mulia. Sedangkan golongan yang mempercayai adanya kesatuan Wujud termasuk kategori Taswuf Filsafat yaitu Taswuf yang menekankan pada Aspek Filsafatnya. Perbedaan antara kedua Kelompok ini terletak pada perbedaan Konsep mereka tentang Allah dan Alam. Persamaannya adalah sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan Akhir.
Dalam menuju Tingkat ma’rifat yang tinggi itu kaum sufi melakukan kegiatan-kegiatan baik berupa ibadah yang sesuai dengan syari’ah maupun mujahaddah (perjuangan) dan Musahadah yang didasari ilham dan djawa. Pengalaman Agama oleh kaum sufi berwujud Amal ragawi berupa ibadah sesuai dengan syari’ah dan berwujud aktifitas Rohani. Dalam hal ini diantara Sufi ada yang beranggapan bahwa syari’at hanyalah Alat, sebab itu bila tujuan telah tercapai maka alat tidak diperlukan lagi.
Banyaknya maqom dalam tasawuf tidaklah sama dalam setiap Sufi maqom yang Umum dianut Sufi adalah Taubah, juhud, sabar, tawakal, dan Ridlo. Diantara maqom yang paling dilalui ialah maqom zuhud karena menggunakan ilham dan djawa itu maka sering kelihatan Amalan Sufi tidak disesuaikan dengan Syariah melainkan didasarkan pada tujuannya yaitu mengenal Allah. Sebenarnya hal itu hanya sebagian dari amalan sufi yang didasarkan pada sariah. kaum sufi merasa merasa dekat dengan Allah atau merasa cinta kepada Alloh, maka peribadatan tidak lagi dianggap sebagai kewajiban melainkan atas dasar suka rela bila dasarnya wajib maka itu berarti ada kesepakatan. Mereka melakukan ibadah karena senang bukan karena terpaksa.
Syariah bagi kaum Sufi bukanlah kumpulan norma dan kaidah yang harus dipatuhi, menurut mereka syariah itu kumpulan lambang yang memiliki makna tersembunyi. Shalat misalnya, bagi kaum Sufi bukanlah sekedar sejumlah gerakan dan Kata-kata tetapi lebih dari itu merupakan percakapan Spiritual antara Makhluk dengan Kholik.
Demikian juga ibadah lain seperti haji karena itu pengertian kalimat yang diucapkan dalam dzikir bukanlah pengertian yang tersurat semata, melainkan lambang aktifitas Rohani yang telah dicapai oleh sufi yang bersangkutan dalam menuju Tuhan.
Oleh karena dalam ajaran Tasawuf khususnya pada falsafi tidak sunyi dari pengaruh ajaran dari luar maka logisnya adalah bila dalam menafsirkan Al-qur’an dan Hadits telah dipengaruhi oleh ajaran luar tersebut. Banyak teori yang membicarakan ajaran luar Islam yang telah mempengaruhi tasawuf ada teori yang megatakan bahwa Kristen telah memberikan pengaruh pada tasawuf. Ada yang mengatakan Mistik pitagoras juga telah memberikan pengaruh pada tasawuf sebagian lain menyebutkan bahwa teori Plotinus juga mempengaruhi pada tasawuf juga. Dan Hindu sebenarnya dasar-dasar tasawuf itu memang ada didalam Al qur’an maupun Hadits, jadi tasawuf itu muncul dari Islam, dalam prakteknya mungkin saja ajaran tasawuf telah dipengaruhi oleh kebudayaan. Masuknya kebudayaan tersebut dapat dipahami sebab dilihat dari satu segi pemahaman dan pengalaman ajaran agama apapun tidaklah terlepas dari pengaruh budaya.[3]

3.      Tujuan dan cara pendekatan Syariah
Kaum syariah dalam beramal selalu melihat dari segi sah atau tidaknya amal itu, tentang bentuk niat yang benar secara umum haruslah diorientasikan pada tujuan penciptaan manusia yaitu untuk mengabdi kepada Allah. Karena itu semua Amal haruslah didasarkan pada ketaatan manusia kepada Allah terjalinnya ketaatan itu akan melahirkan taqorrub yaitu kedekatan manusia dengan makhluknya. Ketaqorruban akan melahirkan Ridlo.kerelaan dari Allah akan menghasilkan pahala serta terhindar dari siksa Neraka.karena itu Do’a yang sering dipanjatkan oleh kaum syariah adalah agar terhindar dari siksa Neraka.
Atas dasar ketaatan itu bagi kaum Syariah Allah adalah Mukallif (yang memberikan kewajiban) dalam hubungannya dengan penetapan hukum Ia adalah AL Hakim sedangkan Manusia adalah Mukallaf. Dalam kaitannya hukum manusia adalah Mahkum Alaih( yang diberi beban hukum). Adapun yang menjadi beban dalah segala segala aktifitas Manusia khususnya berupa ibadah dan Muamalah yang pada dasarnya berkenaan dengan keharusan, larangan, kewengan untuk memilih, dengan rincian berupa hukum 5 yaitu: wajib, sunah, mubah, makruh, dan Haram.
Pendekatan ini didasarkan kurang menyentuh bagian Rohani Manusia. Pelaksanaan ajaran Agama dirasakan kering dan tidak berpengaruh pada perubahan kondisi spiritual. Bagi kaum syariah dunia ini bukan sesuatu yang kotor melainkan tempat untuk beramal, disamping sebagai Amanat dari Tuhan. Bertepatan bahwa Manusia adalah khalifah Allah di Bumi berati Manusia tidak boleh meninggalkan dunia dan Materi.
Bagi kaum syariah sumber ajaran haruslah Al qur’an sebagai sumber Utama, Hadits sumber kedua dan Ijtihad sumber ketiga. Penetapan urutan sumber ini mengandung pengertian bahwa bila masalah tertentu tidak dapat menyelesaikannya dalam Al qur’an bila hadits juga tidak memberikan jawaban maka diusahakan jawaban dengan Ijtihad (yang juga tetap mendasarkan diri pada sumber kedua).
Bagi kaum sayriah tingkatan keshahihan hadits sangat penting dalam penetapan Hukum berdasarkan hadits dhoif (lemah). Mereka menolak juga hasil Ijtihad yang berlawanan dengan patokan umum Al- qur’an dan Hadits shahih.[4]

4.      Persamaan dan perbedaan Sufisme dan Syariah
Tentang hubungan Manusia dengan Allah kedua golongan itu sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan Ibadah. Perbedaan terletak pada segi motifasinya. Kaum sufi berkeinginan lebur bersama Allah karena dorongan cinta atau ijtihad, sedangkan pada kaum syari’ah motifasinya adalah keinginan taat kepada Allah. Kesulitan kaum syariah menerima paham ijtihad adalah karena kaum syariah menyakini kemustahilan menyatunya makhluk kholik dalam satu diri. Mengenai syatahat yang ditentang oleh kaum syariah agaknya dapat ditolelir dengan menempatkan peristiwa itu sebagai keadaan mabuk (syakr) yang dikenal dalam tasawuf mabuk itu terjadi tatkala sufi sedang tenggelam dalam tafakur yang dalam sehingga ia tidak sadar diri.
Dalam syariah diakui orang yang sedang tidak sadar diri itu terlepas dari tuntutan hukum. Akibat yang timbul memang kurang baik bila pengalaman pribadi itu diajarkan kepada orang lain yang kondisi rohaninya berbeda. Tentang pendekatan Akal dan rohani itu sebenarnya keduanya saling melengkapi. Bila hanya pendekatan Akal maka pengalaman beragama akan kering, bila pendekatan rohani saja maka norma-norma hukum mungkin saja terabaikan. Karena itu sangat tepat ketika Al-ghozali mengatakan bahwa penyerasian pendekatan Akal dengan rasa dalam melaksanakan ajaran Agama sangatlah perlu.[5]
Didalam tasawuf mimpi dijadikan salah satu sumber ajaran.ini dapat berakibat ajaran islam itu melampui ketentuan yang ada. Memang benar salah satu cara penyampaian petujuk kepada Nabi ialah melalui mimpi, tetapi kualitas mimpi orang bukan Nabi amat berbeda dari kualitas mimpi para Rosul dan Nabi. Seandainya mimpi diyakini mimpi diyakini kebenarannya sedangkan yang bermimpi itu bukan Nabi atau Rosul atau orang yang jelas kesholihannya maka tentulah daerah keberlakuannya sangatlah khusus dan pribadi.
Bila petunjuk melalui mimpi itu diperlakukan juga bagi orang lain maka akan terjadi revisi terhadap ajaran Islam mengingat kondisi orang yang bermimpi tidaklah sama.[6]
 
 IV.            KESIMPULAN
Bahwa untuk mencapai kesempurnaan beragama pendekatan rasa(pendekatan tasawuf) memang diperlukan tetapi pedekatan hukum(pendekatan syariah) tidak boleh ditinggalkan karena keduanya sangat penting.
Tidak mungkin orang yang betul-betul mencintai tanpa patuh yang dicintai.
Mencintai itu tasawuf dan dimaksud patuh adalah patuh dalam hukum syariah. Rasa dan pikir sama pentingnya karena kepentingan itu maka kedua alat itu dianugerahkan Allah kepada kita.
Kehidupan dunia dan materi adalah penting mengejar Akhirat juga penting tetapi tajaran haruslah pada kepentingan akhirat sebab jika tingkat kepentingannya disamakan maka manusia akan cenderung mementingkan dunia.


DAFTAR PUSTAKA.
Muslihudin Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan pemikiran Oreantalis studi  perbandingan sistem hukum islam
(Yogyakarta: PT. Tiara wacana yogya,1991)
Praja Juhaya. S, model tasawuf menurut syariah(suryalaya, tasikmalaya: PT. Latifah Press, 1995)
Tebba sudirman, tasawuf positif (bogor:PT. Kencana, 2003)




[1] Muhammad Muslihudin, Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: PT. Tiara wacana hal.45
[2] Juhaya S. Praja. Tasikmalaya: PT. Latifah Press, 1995 hlm. 1-2
[3] Ibid. Hlm. 2-6
[4] Ibid hlm. 6-9
[5] Ibid. Hlm. 9-13
[6] Sudirman tebba, tasawuf, positif. Bogor: PT. Kencana, 2003 hlm. 205-209