Kamis, 26 Juli 2012


Sufi Tersesat

Tarekat yang berarti jalan, merupakan salah satu metode untuk mendekat dan mencapai (wushul) Allah.  Terdapat puluhan bahkan ratusan mungkin ratusan aliran tarekat. Sejak awal masuk di Indonesia, tarekat sudah menjadi kontroversi di kalangan ulama.

Sebagian ada yang menganggap tidak perlu ada tarekat. Karena untuk wushul sudah ada syariat. Tetapi dengan diselenggarakannya Muktamar ke-11 Jamiyah Ahlith Thoriqoh, federasi tarekat sah menjadi perangkat organisasi Nahdatul Ulama. Tidak hanya itu, dalam Muktamar NU yang ke-11 juga memutuskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mencapai wushul Allah kecuali dengan bertarekat.

Pendiri NU, KH. Hasyim Asyari sebenarnya sangatlah kritis terhadap instansi pertarekat. Bahkan, beliau menyusun kitab Ad-Durar al-Muntasyirah fi Masail al-Tisa’a ‘Asyarah upaya meluruskan esensialitas wushul Allah. Didalamnya, beliau memperingtkan kepada umatnya supaya berhati-hati bila memasuki tarekat. Hal itu disebabkan, tidak semua instansi tarekat berjalan sesuai tuntunan syariat.

Dengan adanya kesepakatan Muktamar tersebut, terdapat beberapa masalah yang menjadi sorotan tentang praktik tarekat dan tasawuf di Indonesia. Pertama, memarjinalkan keberadaan syariat sebagai modal mencapai hakikat. Padahal, antara hakikat dan syariat keduanya tidak bisa dipisahkan. Karena hakikat tanpa syairat itu palsu, dan syariat tanpa hakikat itu lemah.

Dan juga, sebagaimana konsep pemikiran KH. Ihsan Jampes dalam karyanya “Sirajutolibin” mengatakan, “Bahwa saat ini banyak orang bodoh tapi berani mengatakan dirinya bisa sampai kepada maqom makrifat, mukasyafah dan mendapat karomah. Padahal mereka sama sekali tidak mengerti syariat, bagaimana itu bisa terjadi.”

Kedua, terdapat stigma yang mengatakan secara brutal, menuding bahwa kyai pesantren adalah orang-orang yang salah mendidik masyarakat karena hanya mengaji dan sekolah. Sehingga tidak akan mampu mengantarkan mereka mencapai (wushul) Allah.

Sementara, kesalahan praktik tasawuf yang selama ini terjadi adalah maraknya pengajian yang mengatas namakan tasawuf. Sehingga, tasawuf tidak lagi menjadi gerakan moral dan ahlak, tetapi menjelma sebagai ladang penggalian materi dan popularitas.

Hal itu dilakukan oleh mereka yang sama sekali belum pernah mengetahui para pendiri tarekat dan pengarang kitab tasawuf. Sehingga apa yang mereka sampaikan lebih bersifat wacana, bahkan polemik yang terus mengkritik doktrin tasawuf yang mereka sendiri tidak mengerti.

Kondisi seperti inilah, yang harus segera dibenahi dalam dunia pertarekatan dan tasawuf dengan lebih mempertegas syariat dan mempertajam akidah, fikh dan akhlak sebelum dan sesudah masuk tarekat. Tidak hanya berdzikir tanpa mengerti maknanya!

Senin, 16 Juli 2012


KONSEP ZUHUD

Zuhud secara bahasa adalah bertapa di dunia, adapun secara istilah yaitu: Bersedia untuk melakukan ibadah, dengan berupaya semaksimal mungkin menjauhi urusan duniawi, dan hanya mengharapkan keridhoan Allah SWT. Sebagaimana yang di ungkapkan ulama:

“Ma Qalla amalun baraza Min qalbin Zaahidin”
(tidak ada amalan kecil yang lebih mulya dari dalam hati seorang yang menjauhi dunia, melainkan berbuat zuhud).

Zuhud dalam aplikasi kehidupannya, mampu melahirkan satu maqam dan cara hidup yang oleh para ahli tasawuf dikatakan sebagai sesuatu yang telah dicapai setelah maqam taubah.

Itu karena, seseorang yang benar-benar zuhud sudah meninggalkan symbol-symbol duniawi setelah benar-benar dia melakukan taubah al-nasuuha, dengan satu pandangan bahwa hidup di dunia tak lebih daripada sebatas permainan dan canda gurau. Seperti dalam al-quran disebutkan:
                                                I'lamu annamalhayah al-Dunya La'ibun Wa Lahwun: Al-Haddid:20.

Konsep ini sejajar dengan:
                                              “al-dunya mazra’atun al-aakhirah”:

Dunia sebagai ladang(bekal) di akhirat kelak, difahami bahwa tidak ada keindahan dan ketenangan hakiki melainkan merasa indah dan tenang dengan kenikmatan hidup dalam keadaan iman dan Islam dengan zuhud sebagai pegangan. Orang-orang ini, niscaya dalam hidupnya akan semakin dekat dengan khalik sang pencipta, sebagaimana hadist rasul SAW:

“Manizdaada ‘ilman, walam yazdad zuhdan, Lam Yazdad Min Allah illaa Bu’dan”
(Barangsiapa yang di anugerahi ilmu oleh Allah, akan tetapi tidak semakin bertambah ke-zuhud-annya, maka sejatinya orang yang seperti ini bukan bertambah melainkan semakin jauh dari jalan tuhan-Nya).

Seseorang yang secara lahir sukses dalam mempertahankan gelar akademiknya, cemerlang dalam setiap usahanya, dan bertambah keilmuan apabila melihat jam tayangnya(baca: sebagai penceramah;da’i), akan tetapi selalu melakukan perbuatan yang melanggar syari’at, tidak ada keinginan untuk mengurangi perbuatan buruk dan segera memohon taubat kepada-Nya, maka yang demikian ini bukan dekat dengan Tuhannya melainkan semakin jauh dari jalan hidayah Allah SWT.

Orang-orang zuhud selalu berusaha untuk menjauhi perbuatan dan majlis-majlis yang penuh dengan kemungkaran, dan selalu berusaha melakukan amaliyah yang hanya diredhoi Allah SWT, seperti yang dijelaskan oleh ulama:

“Man ‘Amila al-Aakhirat Kafahu Allah amra Diinihi Wa Dunyahu”.
Artinya: “Barangsiapa yang melakukan amal perbuatan soleh(bermanfaat untuk akhirat), Maka akan Allah cukupkan segala urusan agama dan dunia-nya”.

Golongan ini, selalu berusaha dalam melaksanakan segala kewajibannya dengan penuh keikhlasan dan tanpa pamrih, karena segala kenikmatan yang ada di dunia ini, besok akan di mintai pertanggung jawabannya kelak di akhirat,

Sebagaimana dalam surah At-takasur ayat 8 dinyatakan:
Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).

Dalam surah lain,an-Naziat ayat 37-39 di jelaskan:

Adapun orang yang melampaui batas,Dan lebih mengutamakan kehidupan dunia,Maka Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).

Dalam redaksi yang berbeda juga disebutkan:
 
“Man arada an yasyrifa fi al-dunya wa al-akhirah falyakhtar al-akhirah ‘ala al-dunya[al-fitnah]“.
Artinya:
“Barangsiapa yang menghendaki kemulyaan di dunia serta kebahagiaan di akhirat, maka mereka akan memilih kemulyaan akhirat dan menjauhi dari kenikmatan sesaat di dunia dengan segala bentuk kemaksiatan, kejahatan dan fitnah yang merajalela”.

Hal ini, seandainya mereka diberi kebahagiaan sebagai orang-orang diberi kelebihan rezeki waktu di dunia, maka dengan segera akan menginfaqkan, bersedekah dengan tujuan untuk menggapai ketaatan kepada-Nya, untuk menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan bujukan iblis dan bala tentaranya, secara rinci dijelaskan oleh ulama:

“Inna az-zuhda laisa ibaaratun ‘an akhlai al-yadi ‘an al-maal, bal huwa akhlaul qalbi ‘an ta’alluqi bihi”,
Artinya:
Yang di namakan zuhud itu bukan ibarat orang yang menyembunyikan tangannya dari harta benda(uang, jabatan,wanita), akan tetapi zuhud yaitu menyembunyikan dari perkara yang dapat mengakibatkan kemadharatan atas segala tipu daya dunia yang fana, orang zuhud dalam hatinya terbebas dari sesuatu yang bersifat unsur duniawi, hatinya selalu condong kepada dzat Allah, melaksanakan ketaatan dan dunia hanya dijadikan sebagai perantara untuk menggapai ridho-Nya.

Dalam surah Taha ayat 131 dijelaskan:

131. Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.

Pengertian zuhud secara lebih luas, sebenarnya bukan meninggalkan kehidupan dunia secara keseluruhan, melainkan tetap mencari penghidupan duniawi, akan tetapi hanya sebatas untuk memenuhi keperluan hidup ala kadarnya, mereka bekerja dengan niat untuk menafkahi keluarga, yang merupakan kewajiban seorang suami atas anak dan istrinya, dan itu semua hanya untuk mencari ridlo-Nya, agar kelak besok lepas dari pertanggung jawaban di akhirat.

Hal ini dijelaskan dalam surah al-Qashash ayat 77:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Selain itu juga dijelaskan dalam hadits:

“I’mal lidunyaaka kaannaka ta’isyu Abadan, Wa’mal liaakhiratika kaannka tamutu ghadan”.
Artinya:
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan beramallah untuk persediaan akhiratmu, seakan-akan engkau mati besok”.


Dalam tasawuf, seorang hamba yang lagi menjalankn perintah harus selalu merasa bahwa dirinya sedang benar-benar berdiskusi kepada Allah, kalau tidak boleh menghadirkan hati maka seyogyanya dalam hatinya sadar bahwa segala apapun aktivitasnya sedang dalam pantauan yang MahaKuasa, sebagaimana dalam hadist yang diriwayatkan Sayyidina Umar, beliau mendengar rasulullah SAW bersabda:

“An ta’budallah kaannaka tarahu, waillam takun tarahu fainnahu yaraka”
Artinya:
“Ketika menyembah kepada-Nya seakan-akan kita melihat-Nya, kalau tidak mampu untuk yang demikian(melihat-Nya), maka sesungguhnya Dia(Allah)selalu melihatmu”.

Hadist ini bukan saja berlaku di saat kita melakukan ibadah(shalat)saja, akan tetapi dalam semua aktifitas kita di luar shalat pun, seseorang yang zuhud merasa dirinya selalu dalam pengawasan Allah SWT.

Dengan demikian ilmu tasawuf sebagai satu wasilah (jembatan penghubung) yang mampu memberikan effect positif kepada pengamalnya berdasarkan haluan yang telah digariskan dalam syariah Islam, seperti ungkapan Imam Asy-Sya’rani bahwa tasawuf merupakan ilmu yang dapat muncul dari hati yang bersih, dan tiada tergores sedikitpun di dalamnya. Satu hal yang paling penting dalam mempelajari ilmu ini, seperti yang telah di uraikan oleh Imam Malik, bahwa seseorang yang belajar ilmu fiqih(syariat) tanpa mempelajari tasawuf (hakikat),  maka ia fasiq. Demikian juga sebaliknya seseorang yang ber-tasawuf(hakikat),tanpa mendalami ilmu fiqih (syariat), maka ia kafir zindiq, artinya kita harus amalkan kedua-duanya antara syariat dan hakikat.

Akhiran, mari kita sama-sama menghayati makna zuhud yang kemudian semoga dapat kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Amin.

Rabu, 04 Juli 2012


Imam Syafii :

فقيها و صوفيا فكن ليس واحدا      *      فإني و حـــق الله إيـــاك أنــــصح   
فذالك قاس لم يـــذق قـلــبه تقى      *      وهذا جهول كيف ذوالجهل يصلح

Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu.
Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelazatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik?

Jebakan Imajinasi Semu
“Tak satupun wujud yang bisa menutupi Allah, karena sesungguhnya tidak satu pun yang menyertaiNya. Bahwa sesungguhnya anda tertutup dari Allah disebabkan oleh imajinasi (seakan) ada wujud yang menyertaiNya.” “Tak satupun wujud yang bisa menutupi Allah, karena sesungguhnya tidak satu pun yang menyertaiNya. Bahwa sesungguhnya anda tertutup dari Allah disebabkan oleh imajinasi (seakan) ada wujud yang menyertaiNya.”
Adanya imajinasi wujud selain Allah membuat anda lebih sibuk dengan wujud semu itu, berupa dunia seisinya dengan segala masalahnya, secara tidak langsung maupun langsung, anda telah terjebak seakan-akan wujud semu itu yang mengancam dan memberi manfaat bagi kehidupan anda, sehingga anda pun terhijab dari Allah azza wa-Jalla.
Padahal wujud itu hakikatnya tidak ada, yang berhak punya sifat Wujud hanyalah Allah swt.
Dalam kitab Lathaiful Minan, karya lain Ibnu Athaillah digambarkan, “ketika melihat wujud semesta ini, anda melihat adanya bayangan dengan mata kepala. Padahal bayangan itu sesungguhnya tidak ada jika ditinjau dari struktur wujud itu sendiri, tetapi juga tidak bisa disebut tidak ada, jika dilihat dari struktur ketiadaan.
Dengan demikian bayangan semesta itu tidak bisa menghapus yang empunya bayang. Karena sesuatu itu menyerupai padanannya dan terkumpul dalam bentuknya. Begitu pula yang menyaksikan sifat bayangan alam tidak bisa menghalangi Allah swt, sebagaimana bayangan pohon di siang hari tidak menghalangi lajunya kapal untuk berjalan.
Dari sinilah jelas bahwa tirai atau tutup itu bukan sebagai wujud yang menghadang antara diri anda dengan Allah Ta’ala. Apabila hijab itu memiliki sifat wujud antara diri anda dengan Allah Ta’ala, pastilah wujud tadi lebih dekat dibanding Allah Ta’ala, padahal tak satu pun yang lebih dekat padamu dibanding Allah Ta’ala. Maka hakikat hijab itu sesungguhnya kembali pada imajinasi tentang adanya hijab itu sendiri.”
Beliau melanjutkan, bahwa dengan memandang SifatNya, segala makhluk akan terliputinya:
“Apabila Sifat-sifatNya tampak, maka seluruh semesta ini akan tersirnakan. Kalaulah bukan tampakNya dibalik semesta ciptaanNya, mata hati tak pernah bisa memandangnya.”

Dapat disebutkan, tidak ada ketetapan pada makhluk dengan munculnya efek dari Allah Ta’ala. “Sungguh mengherankan, bagaimana bisa wujud menjadi tampak dalam ketiadaan? Atau bagaimana bisa ada sesuatu yang baru bersanding dengan Dzat yang punya sifat Maha Dahulu?”, begitu disebut oleh Ibnu Athaillah pada hikmah-hikmah terdahulu.
Kalaulah bukan karena pengaruh Sifat-sifatNya yang diyakini dengan ilmu dan dikhususnya dengan IrodahNya dan dimunculkan melalui KuasaNya, maka tak ada yang tampak sama sekali, baik oleh mata kepala maupun mata hati. Yang Dzohir berarti adalah sifat-sifatNya. Bila memandang pada yang lain dari Sifat itu, akan terjebak pada imajinasi-imajinasi yang dibatasi rupa, tanpa kembali ke hakikatnya yang bisa menghapus imajinasi semu tadi.

(Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary)

Senin, 02 Juli 2012




Ditulis oleh Agung Kusuma, BIFB (Hons)   

Rasulullah SAW adalah contoh pribadi yang agung, pribadi yang mulia. Beliau diutus sebagai rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semesta alam. Beliau adalah penutup para Nabi dan contoh bagi semua manusia.
Hal yang menarik adalah kenapa Rasulullah selalu tersenyum, walaupun beliau dihina dan dicaci maki oleh kaumnya, bahkan ingin dicelakakan oleh sebagian orang. Artikel ini akan membahas panjang lebar tentang hal menarik ini.

Pertama, Rasulullah mengemban misi yang besar. Masih banyak hal-hal yang harus difikirkan dan diselesaikan dihadapannya. Masalah ummat dan penyebaran agama yang menguras banyak tenaga dan waktu harus dilaksanakannya demi tercapainya hal besar tersebut. Sungguh remeh apabila Beliau goyah jika ada hal kecil yang menghambat perjuangannya. Di depan mata Beliau terdapat berjuta planning dan harapan yang harus dicapainya untuk jangka waktu yang Beliau rancang. Harapan dan cita-cita harus Beliau tuntaskan bersama para sahabat-sahabatnya. Apabila masalah kecil itu menggetarkan langkahnya maka misi agung itu tidak akan tercapailah seperti sekarang ini. Harapan dan cita-cita Beliau mengalahkan berjuta cercaan dan hinaan yang dihujamkan kepada insan yang mulia ini.

Kedua, Rasulullah saw adalah pribadi yang agung. Seorang yang berkepribadian agung mempunyai jiwa yang besar. Seorang berjiwa besar akan mudah memaafkan kesalahan orang lain, karena hatinya yang luas bagaikan samudra. Seperti dikutip dari perkataan Aa’ Gym jiwa orang yang besar ibarat sebuah lapangan yang amat luas, apabila terdapat ular dan binatang berbahaya lainnya masih ada lahan lapangan yang lainnya untuk bergerak, sebaliknya jiwa orang yang kerdil akan merasakan sesak apabila terdapat sedikit saja gangguan bagi dirinya, orang lebih sedikit dari dia adalah cobaan baginya, tersinggung sedikit adalah besar baginya, dan masalah kecil ia besar-besarkan. Rasulullah adalah contoh tauladan dalam jiwa yang agung. Beliau adalah orang yang pemaaf dan mudah memaafkan. Beliau marah apabila hak Allah di injak-injak. Dalam suatu riwayat dikatakan dari Aisyah ra: “Ketika aku meletakkan gambar diruanganku aku melihat wajah Rasulullah merah padam dan beliau berkata: “Wahai Aisyah, orang yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah orang yang membuat sesuatu menyerupai makhluk Allah.” (H.R. Muttafaqq Alaih) Begitulah ketegasan Rasulullah dalam menegakkan hak-hak Allah. Apabila Beliau dihina Beliau bersabar dan apabila hak Allah dipermainkan maka wajah beliau merah padam.

Ketiga, senyum adalah lambang pribadi yang optimis dan positif. Rasulullah adalah insan yang mulia. Manusia terbaik dimuka bumi ini sejak adanya. Beliau adalah pemimpin agung. Mustahillah seorang pemimpin itu mencontohkan kepesimisan. Beliau ingin mencontohkan keoptimisan dalam menggapai cita-cita bagi seluruh ummatnya. Karena Beliau ingin ummatnya optimis menggapai cita-cita mereka yang mulia. Dan juga senyum melambangkan pribadi yang positif, tidak ada gunanya marah apabila Beliau membalas kejahatan orang Yahudi yang melukainya, karena itu akan membuang tenaga Beliau saja dan masih banyak tugas Beliau di hadapan dan akan sia-sia untuk suatu perkara yang remeh. Apabila kita marah sebenarnya yang rugi adalah kita. Termakan tenaga dan waktu untuk memikirkan batu kerikil-batu kerikil tersebut. Oleh karana itu Allah mengatakan dalam Kitab-nya “Katakanlah wahai Muhammad: “Matilah dengan kemarahan kalian” bagi ‘Bithanatan Min Dunikum’ yaitu golongan yang apabila kalian terkena musibah mereka akan merasakan senang dan apabila kalain mendapatkan kenikmatan hati mereka akan sakit, maka marah adalah penyebab yang tepat untuk kematian mereka. (QS. Ali Imran:118-120)
Begitulah suri teladan dalam diri Rasulullah, seorang insan yang agung. Demikianlah tatkala seorang buta Yahudi di pinggiran kota Madinah mencaci maki Beliau, mengatakan Beliau gila, tetapi Beliau dengan santun menyuapkan kepalan nasi ke mulut orang tua tersebut. Juga kisah seorang Yahudi yang sengaja menagih uangnya lebih dari waktu yang mereka janjikan, yang dia sengaja membuat Beliau marah, tetapi beliau hanya tersenyum. Dan, juga kisah seorang Yahudi yang selalu meludahkannya pada setiap pagi, tetapi disaat ia sakit ternyata Rasulullah-lah orang yang pertama kali mengunjunginya. Sungguh Muhammad Engkau berkepribadian agung.
Penulis adalah:
Mahasiswa Program Magister Keuangan Islam
International Islamic University Malaysia