Sufi Tersesat
Tarekat yang berarti jalan, merupakan salah satu metode untuk mendekat dan
mencapai (wushul) Allah. Terdapat puluhan bahkan ratusan mungkin ratusan
aliran tarekat. Sejak awal masuk di Indonesia, tarekat sudah menjadi
kontroversi di kalangan ulama.
Sebagian ada yang menganggap tidak perlu ada tarekat. Karena untuk wushul
sudah ada syariat. Tetapi dengan diselenggarakannya Muktamar ke-11 Jamiyah
Ahlith Thoriqoh, federasi tarekat sah menjadi perangkat organisasi Nahdatul
Ulama. Tidak hanya itu, dalam Muktamar NU yang ke-11 juga memutuskan bahwa
tidak ada jalan lain untuk mencapai wushul Allah kecuali dengan bertarekat.
Pendiri NU, KH. Hasyim Asyari sebenarnya sangatlah kritis terhadap instansi
pertarekat. Bahkan, beliau menyusun kitab Ad-Durar al-Muntasyirah fi Masail
al-Tisa’a ‘Asyarah upaya meluruskan esensialitas wushul Allah. Didalamnya,
beliau memperingtkan kepada umatnya supaya berhati-hati bila memasuki tarekat.
Hal itu disebabkan, tidak semua instansi tarekat berjalan sesuai tuntunan
syariat.
Dengan adanya kesepakatan Muktamar tersebut, terdapat beberapa masalah yang
menjadi sorotan tentang praktik tarekat dan tasawuf di Indonesia. Pertama,
memarjinalkan keberadaan syariat sebagai modal mencapai hakikat. Padahal,
antara hakikat dan syariat keduanya tidak bisa dipisahkan. Karena hakikat tanpa
syairat itu palsu, dan syariat tanpa hakikat itu lemah.
Dan juga, sebagaimana konsep pemikiran KH. Ihsan Jampes dalam karyanya
“Sirajutolibin” mengatakan, “Bahwa saat ini banyak orang bodoh tapi berani
mengatakan dirinya bisa sampai kepada maqom makrifat, mukasyafah dan mendapat
karomah. Padahal mereka sama sekali tidak mengerti syariat, bagaimana itu bisa
terjadi.”
Kedua, terdapat stigma yang mengatakan secara brutal, menuding bahwa kyai
pesantren adalah orang-orang yang salah mendidik masyarakat karena hanya
mengaji dan sekolah. Sehingga tidak akan mampu mengantarkan mereka mencapai
(wushul) Allah.
Sementara, kesalahan praktik tasawuf yang selama ini terjadi adalah
maraknya pengajian yang mengatas namakan tasawuf. Sehingga, tasawuf tidak lagi
menjadi gerakan moral dan ahlak, tetapi menjelma sebagai ladang penggalian
materi dan popularitas.
Hal itu dilakukan oleh mereka yang sama sekali belum pernah mengetahui para
pendiri tarekat dan pengarang kitab tasawuf. Sehingga apa yang mereka sampaikan
lebih bersifat wacana, bahkan polemik yang terus mengkritik doktrin tasawuf
yang mereka sendiri tidak mengerti.
Kondisi seperti inilah, yang harus segera dibenahi dalam dunia pertarekatan
dan tasawuf dengan lebih mempertegas syariat dan mempertajam akidah, fikh dan
akhlak sebelum dan sesudah masuk tarekat. Tidak hanya berdzikir tanpa mengerti
maknanya!