SUFISME DAN SYARI’AH
I. PENDAHULAN
Sebelumnya
sufisme sudah berperan dalam menggerakkann dunia islam untuk merdeka lepas dari
penjajahan bangsa-bangsa barat pada pertengahan abad ke-20 setelah itu dunia
islam menyadari bahwa walau sudah lepas dari penjajah bangsa-bangsa barat,
disebelah barat didunia islam masih jauh tertinggal dibidang Ekonomi dan Iptek.
Sufisme sebenarnya tidak pernah mengajarkan umtuk menjauhi urusan kehidupan
dunia.
Hanya saja
praktik tasawuf yang berlebihan dapat mengurangi perhatian terhadap
kepentingan hidup duniawi.
Sedangkan
hukum islam atau Syari’ah menurut teori klasik adalah perintah Tuhan yang
diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Syari’ah merupakan sistem ketuhanan yang
mendahului negara Islam dan tidak didahului olehnya. Mengontrol masyarakat
islam dan tidak dikontrol olehnya.
Hanya Allah
semata yang merupakan penguasa bagi Negara Islam. Dialah yang memberikan kepada
Negara kekuatan tertinggi untuk mengontrol. Demikian pula otoritas Mutlakdan
Independent.[1]
II.
RUMUSAN MASALAH
Di dalam
makalah ini akan membahas mengenai sufisme dan Syari’at antara lain meliputi
persoalan
1. Pengertian Sufisme
dan Syari’ah
2. Tujuan dan cara
pendekatan Sufisme
3. Tujuan dan cara
pendekatan Syariah
4. Persamaan dan
perbedaan Sufisme dan Syariah
III. PEMBAHASAN
1. Pengertian Sufisme
dan Syari’ah
Golongan
Sufi yaitu golongan Islam yang pengalaman agamanya diperoleh melalui tasawuf
sejak sekitar Abad kedua Hijriyah atau sekitar Abad ke-9 masehi sedangkan
golongan sayariah adalah kaum yang dalam segala hal berpegang pada norma-norma
Hukum. Kedua kaum ini lahir dari suatu proses perkembangan budaya dalam
memahami Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber hukum pertama.
Dalam perjalanan sejarahnya kedua
golongan ini pernah menunjukkan ketidak serasian dalam menampakkan dan menilai
penglaman keagamaan. Bahwa semua ulama Sufi dan Ulama Syariah tidak saling
menghargai. Imam Al ghozali pernah mencoba mempertemukan kedua Golongan itu tapi
usahanya belum berhasil secara maksimal. Ternyata setelah masa Al ghozali masih
terjadi hukum Bunuh seperti yang dialami oleh Al Hallaj yaitu seorang Sufi
penganjur Al Isro’an, Sukhrowardin Al Maktul. Landasan kedua golongan tersebut
masih sering terjadi kesalahan dikarenakan tidak mengetahui Argument
masing-masing yang digunakan dalam golongan itu.[2]
2. Tujuan dan cara
pendekatan Sufisme
Kaum Sufi kadang-kadang dibagi menjadi 2
golongan yaitu golongan yang mempercayai keEsaan Allah dan golongan yang mempercayai
kesatuan wujud. Adapun golongan yang mempercayai keEsaan Allah termasuk
kategori Tsawuf Akhlak yaitu golongan yang mengutamakan Tasawuf sebagai alat
untuk pembentukan Akhlak Mulia. Sedangkan golongan yang mempercayai adanya
kesatuan Wujud termasuk kategori Taswuf Filsafat yaitu Taswuf yang menekankan
pada Aspek Filsafatnya. Perbedaan antara kedua Kelompok ini terletak pada
perbedaan Konsep mereka tentang Allah dan Alam. Persamaannya adalah sama-sama
menempatkan Allah sebagai tujuan Akhir.
Dalam menuju
Tingkat ma’rifat yang tinggi itu kaum sufi melakukan kegiatan-kegiatan baik
berupa ibadah yang sesuai dengan syari’ah maupun mujahaddah (perjuangan) dan
Musahadah yang didasari ilham dan djawa. Pengalaman Agama oleh kaum sufi
berwujud Amal ragawi berupa ibadah sesuai dengan syari’ah dan berwujud
aktifitas Rohani. Dalam hal ini diantara Sufi ada yang beranggapan bahwa
syari’at hanyalah Alat, sebab itu bila tujuan telah tercapai maka alat tidak
diperlukan lagi.
Banyaknya
maqom dalam tasawuf tidaklah sama dalam setiap Sufi maqom yang Umum dianut Sufi
adalah Taubah, juhud, sabar, tawakal, dan Ridlo. Diantara maqom yang paling
dilalui ialah maqom zuhud karena menggunakan ilham dan djawa itu maka sering
kelihatan Amalan Sufi tidak disesuaikan dengan Syariah melainkan didasarkan
pada tujuannya yaitu mengenal Allah. Sebenarnya hal itu hanya sebagian dari
amalan sufi yang didasarkan pada sariah. kaum sufi merasa merasa dekat dengan
Allah atau merasa cinta kepada Alloh, maka peribadatan tidak lagi dianggap
sebagai kewajiban melainkan atas dasar suka rela bila dasarnya wajib maka itu
berarti ada kesepakatan. Mereka melakukan ibadah karena senang bukan karena
terpaksa.
Syariah bagi
kaum Sufi bukanlah kumpulan norma dan kaidah yang harus dipatuhi, menurut
mereka syariah itu kumpulan lambang yang memiliki makna tersembunyi. Shalat
misalnya, bagi kaum Sufi bukanlah sekedar sejumlah gerakan dan Kata-kata tetapi
lebih dari itu merupakan percakapan Spiritual antara Makhluk dengan Kholik.
Demikian
juga ibadah lain seperti haji karena itu pengertian kalimat yang diucapkan
dalam dzikir bukanlah pengertian yang tersurat semata, melainkan lambang
aktifitas Rohani yang telah dicapai oleh sufi yang bersangkutan dalam menuju
Tuhan.
Oleh karena
dalam ajaran Tasawuf khususnya pada falsafi tidak sunyi dari pengaruh ajaran
dari luar maka logisnya adalah bila dalam menafsirkan Al-qur’an dan Hadits
telah dipengaruhi oleh ajaran luar tersebut. Banyak teori yang membicarakan
ajaran luar Islam yang telah mempengaruhi tasawuf ada teori yang megatakan
bahwa Kristen telah memberikan pengaruh pada tasawuf. Ada yang mengatakan
Mistik pitagoras juga telah memberikan pengaruh pada tasawuf sebagian lain
menyebutkan bahwa teori Plotinus juga mempengaruhi pada tasawuf juga. Dan Hindu
sebenarnya dasar-dasar tasawuf itu memang ada didalam Al qur’an maupun Hadits,
jadi tasawuf itu muncul dari Islam, dalam prakteknya mungkin saja ajaran
tasawuf telah dipengaruhi oleh kebudayaan. Masuknya kebudayaan tersebut dapat
dipahami sebab dilihat dari satu segi pemahaman dan pengalaman ajaran agama
apapun tidaklah terlepas dari pengaruh budaya.[3]
3. Tujuan dan cara
pendekatan Syariah
Kaum syariah
dalam beramal selalu melihat dari segi sah atau tidaknya amal itu, tentang
bentuk niat yang benar secara umum haruslah diorientasikan pada tujuan
penciptaan manusia yaitu untuk mengabdi kepada Allah. Karena itu semua Amal
haruslah didasarkan pada ketaatan manusia kepada Allah terjalinnya ketaatan itu
akan melahirkan taqorrub yaitu kedekatan manusia dengan makhluknya.
Ketaqorruban akan melahirkan Ridlo.kerelaan dari Allah akan menghasilkan pahala
serta terhindar dari siksa Neraka.karena itu Do’a yang sering dipanjatkan oleh
kaum syariah adalah agar terhindar dari siksa Neraka.
Atas dasar
ketaatan itu bagi kaum Syariah Allah adalah Mukallif (yang memberikan
kewajiban) dalam hubungannya dengan penetapan hukum Ia adalah AL Hakim
sedangkan Manusia adalah Mukallaf. Dalam kaitannya hukum manusia adalah Mahkum
Alaih( yang diberi beban hukum). Adapun yang menjadi beban dalah segala segala aktifitas
Manusia khususnya berupa ibadah dan Muamalah yang pada dasarnya berkenaan
dengan keharusan, larangan, kewengan untuk memilih, dengan rincian berupa hukum
5 yaitu: wajib, sunah, mubah, makruh, dan Haram.
Pendekatan
ini didasarkan kurang menyentuh bagian Rohani Manusia. Pelaksanaan ajaran Agama
dirasakan kering dan tidak berpengaruh pada perubahan kondisi spiritual. Bagi
kaum syariah dunia ini bukan sesuatu yang kotor melainkan tempat untuk beramal,
disamping sebagai Amanat dari Tuhan. Bertepatan bahwa Manusia adalah khalifah
Allah di Bumi berati Manusia tidak boleh meninggalkan dunia dan Materi.
Bagi kaum
syariah sumber ajaran haruslah Al qur’an sebagai sumber Utama, Hadits sumber
kedua dan Ijtihad sumber ketiga. Penetapan urutan sumber ini mengandung
pengertian bahwa bila masalah tertentu tidak dapat menyelesaikannya dalam Al
qur’an bila hadits juga tidak memberikan jawaban maka diusahakan jawaban dengan
Ijtihad (yang juga tetap mendasarkan diri pada sumber kedua).
Bagi kaum
sayriah tingkatan keshahihan hadits sangat penting dalam penetapan Hukum
berdasarkan hadits dhoif (lemah). Mereka menolak juga hasil Ijtihad yang
berlawanan dengan patokan umum Al- qur’an dan Hadits shahih.[4]
4. Persamaan dan
perbedaan Sufisme dan Syariah
Tentang
hubungan Manusia dengan Allah kedua golongan itu sama-sama menempatkan Allah
sebagai tujuan Ibadah. Perbedaan terletak pada segi motifasinya. Kaum sufi
berkeinginan lebur bersama Allah karena dorongan cinta atau ijtihad, sedangkan
pada kaum syari’ah motifasinya adalah keinginan taat kepada Allah. Kesulitan
kaum syariah menerima paham ijtihad adalah karena kaum syariah menyakini
kemustahilan menyatunya makhluk kholik dalam satu diri. Mengenai syatahat yang
ditentang oleh kaum syariah agaknya dapat ditolelir dengan menempatkan
peristiwa itu sebagai keadaan mabuk (syakr) yang dikenal dalam tasawuf mabuk
itu terjadi tatkala sufi sedang tenggelam dalam tafakur yang dalam sehingga ia
tidak sadar diri.
Dalam
syariah diakui orang yang sedang tidak sadar diri itu terlepas dari tuntutan
hukum. Akibat yang timbul memang kurang baik bila pengalaman pribadi itu
diajarkan kepada orang lain yang kondisi rohaninya berbeda. Tentang pendekatan
Akal dan rohani itu sebenarnya keduanya saling melengkapi. Bila hanya
pendekatan Akal maka pengalaman beragama akan kering, bila pendekatan rohani
saja maka norma-norma hukum mungkin saja terabaikan. Karena itu sangat tepat
ketika Al-ghozali mengatakan bahwa penyerasian pendekatan Akal dengan rasa
dalam melaksanakan ajaran Agama sangatlah perlu.[5]
Didalam
tasawuf mimpi dijadikan salah satu sumber ajaran.ini dapat berakibat ajaran
islam itu melampui ketentuan yang ada. Memang benar salah satu cara penyampaian
petujuk kepada Nabi ialah melalui mimpi, tetapi kualitas mimpi orang bukan Nabi
amat berbeda dari kualitas mimpi para Rosul dan Nabi. Seandainya mimpi diyakini
mimpi diyakini kebenarannya sedangkan yang bermimpi itu bukan Nabi atau Rosul
atau orang yang jelas kesholihannya maka tentulah daerah keberlakuannya
sangatlah khusus dan pribadi.
Bila
petunjuk melalui mimpi itu diperlakukan juga bagi orang lain maka akan terjadi
revisi terhadap ajaran Islam mengingat kondisi orang yang bermimpi tidaklah
sama.[6]
IV.
KESIMPULAN
Bahwa untuk
mencapai kesempurnaan beragama pendekatan rasa(pendekatan tasawuf) memang
diperlukan tetapi pedekatan hukum(pendekatan syariah) tidak boleh ditinggalkan
karena keduanya sangat penting.
Tidak
mungkin orang yang betul-betul mencintai tanpa patuh yang dicintai.
Mencintai
itu tasawuf dan dimaksud patuh adalah patuh dalam hukum syariah. Rasa dan pikir
sama pentingnya karena kepentingan itu maka kedua alat itu dianugerahkan Allah
kepada kita.
Kehidupan
dunia dan materi adalah penting mengejar Akhirat juga penting tetapi tajaran
haruslah pada kepentingan akhirat sebab jika tingkat kepentingannya disamakan
maka manusia akan cenderung mementingkan dunia.
DAFTAR PUSTAKA.
Muslihudin Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan
pemikiran Oreantalis studi perbandingan sistem hukum islam
(Yogyakarta: PT. Tiara wacana yogya,1991)
Praja Juhaya. S, model tasawuf menurut
syariah(suryalaya, tasikmalaya: PT. Latifah Press, 1995)
Tebba sudirman, tasawuf positif (bogor:PT. Kencana,
2003)