Rabu, 17 Oktober 2012

SUFISME DAN SYARI’AH



SUFISME DAN SYARI’AH
    
    I.            PENDAHULAN
Sebelumnya sufisme sudah berperan dalam menggerakkann dunia islam untuk merdeka lepas dari penjajahan bangsa-bangsa barat pada pertengahan abad ke-20 setelah itu dunia islam menyadari bahwa walau sudah lepas dari penjajah bangsa-bangsa barat, disebelah barat didunia islam masih jauh tertinggal dibidang Ekonomi dan Iptek. Sufisme sebenarnya tidak pernah mengajarkan umtuk menjauhi urusan kehidupan dunia.
Hanya saja praktik tasawuf yang berlebihan dapat mengurangi perhatian terhadap kepentingan hidup duniawi.
Sedangkan hukum islam atau Syari’ah menurut teori klasik adalah perintah Tuhan yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW. Syari’ah merupakan sistem ketuhanan yang mendahului negara Islam dan tidak didahului olehnya. Mengontrol masyarakat islam dan tidak dikontrol olehnya.
Hanya Allah semata yang merupakan penguasa bagi Negara Islam. Dialah yang memberikan kepada Negara kekuatan tertinggi untuk mengontrol. Demikian pula otoritas Mutlakdan Independent.[1]
    
II.            RUMUSAN MASALAH
Di dalam makalah ini akan membahas mengenai sufisme dan Syari’at antara lain meliputi persoalan
1.      Pengertian Sufisme dan Syari’ah
2.      Tujuan dan cara pendekatan Sufisme
3.      Tujuan dan cara pendekatan Syariah
4.      Persamaan dan perbedaan Sufisme dan Syariah

   III.            PEMBAHASAN
1.      Pengertian Sufisme dan Syari’ah
Golongan Sufi yaitu golongan Islam yang pengalaman agamanya diperoleh melalui tasawuf sejak sekitar Abad kedua Hijriyah atau sekitar Abad ke-9 masehi sedangkan golongan sayariah adalah kaum yang dalam segala hal berpegang pada norma-norma Hukum. Kedua kaum ini lahir dari suatu proses perkembangan budaya dalam memahami Al-Qur’an dan As-sunnah sebagai sumber hukum pertama.
Dalam perjalanan sejarahnya kedua golongan ini pernah menunjukkan ketidak serasian dalam menampakkan dan menilai penglaman keagamaan. Bahwa semua ulama Sufi dan Ulama Syariah tidak saling menghargai. Imam Al ghozali pernah mencoba mempertemukan kedua Golongan itu tapi usahanya belum berhasil secara maksimal. Ternyata setelah masa Al ghozali masih terjadi hukum Bunuh seperti yang dialami oleh Al Hallaj yaitu seorang Sufi penganjur Al Isro’an, Sukhrowardin Al Maktul. Landasan kedua golongan tersebut masih sering terjadi kesalahan dikarenakan tidak mengetahui Argument masing-masing yang digunakan dalam golongan itu.[2]

2.      Tujuan dan cara pendekatan Sufisme
Kaum Sufi kadang-kadang dibagi menjadi 2 golongan yaitu golongan yang mempercayai keEsaan Allah dan golongan yang mempercayai kesatuan wujud. Adapun golongan yang mempercayai keEsaan Allah termasuk kategori Tsawuf Akhlak yaitu golongan yang mengutamakan Tasawuf sebagai alat untuk pembentukan Akhlak Mulia. Sedangkan golongan yang mempercayai adanya kesatuan Wujud termasuk kategori Taswuf Filsafat yaitu Taswuf yang menekankan pada Aspek Filsafatnya. Perbedaan antara kedua Kelompok ini terletak pada perbedaan Konsep mereka tentang Allah dan Alam. Persamaannya adalah sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan Akhir.
Dalam menuju Tingkat ma’rifat yang tinggi itu kaum sufi melakukan kegiatan-kegiatan baik berupa ibadah yang sesuai dengan syari’ah maupun mujahaddah (perjuangan) dan Musahadah yang didasari ilham dan djawa. Pengalaman Agama oleh kaum sufi berwujud Amal ragawi berupa ibadah sesuai dengan syari’ah dan berwujud aktifitas Rohani. Dalam hal ini diantara Sufi ada yang beranggapan bahwa syari’at hanyalah Alat, sebab itu bila tujuan telah tercapai maka alat tidak diperlukan lagi.
Banyaknya maqom dalam tasawuf tidaklah sama dalam setiap Sufi maqom yang Umum dianut Sufi adalah Taubah, juhud, sabar, tawakal, dan Ridlo. Diantara maqom yang paling dilalui ialah maqom zuhud karena menggunakan ilham dan djawa itu maka sering kelihatan Amalan Sufi tidak disesuaikan dengan Syariah melainkan didasarkan pada tujuannya yaitu mengenal Allah. Sebenarnya hal itu hanya sebagian dari amalan sufi yang didasarkan pada sariah. kaum sufi merasa merasa dekat dengan Allah atau merasa cinta kepada Alloh, maka peribadatan tidak lagi dianggap sebagai kewajiban melainkan atas dasar suka rela bila dasarnya wajib maka itu berarti ada kesepakatan. Mereka melakukan ibadah karena senang bukan karena terpaksa.
Syariah bagi kaum Sufi bukanlah kumpulan norma dan kaidah yang harus dipatuhi, menurut mereka syariah itu kumpulan lambang yang memiliki makna tersembunyi. Shalat misalnya, bagi kaum Sufi bukanlah sekedar sejumlah gerakan dan Kata-kata tetapi lebih dari itu merupakan percakapan Spiritual antara Makhluk dengan Kholik.
Demikian juga ibadah lain seperti haji karena itu pengertian kalimat yang diucapkan dalam dzikir bukanlah pengertian yang tersurat semata, melainkan lambang aktifitas Rohani yang telah dicapai oleh sufi yang bersangkutan dalam menuju Tuhan.
Oleh karena dalam ajaran Tasawuf khususnya pada falsafi tidak sunyi dari pengaruh ajaran dari luar maka logisnya adalah bila dalam menafsirkan Al-qur’an dan Hadits telah dipengaruhi oleh ajaran luar tersebut. Banyak teori yang membicarakan ajaran luar Islam yang telah mempengaruhi tasawuf ada teori yang megatakan bahwa Kristen telah memberikan pengaruh pada tasawuf. Ada yang mengatakan Mistik pitagoras juga telah memberikan pengaruh pada tasawuf sebagian lain menyebutkan bahwa teori Plotinus juga mempengaruhi pada tasawuf juga. Dan Hindu sebenarnya dasar-dasar tasawuf itu memang ada didalam Al qur’an maupun Hadits, jadi tasawuf itu muncul dari Islam, dalam prakteknya mungkin saja ajaran tasawuf telah dipengaruhi oleh kebudayaan. Masuknya kebudayaan tersebut dapat dipahami sebab dilihat dari satu segi pemahaman dan pengalaman ajaran agama apapun tidaklah terlepas dari pengaruh budaya.[3]

3.      Tujuan dan cara pendekatan Syariah
Kaum syariah dalam beramal selalu melihat dari segi sah atau tidaknya amal itu, tentang bentuk niat yang benar secara umum haruslah diorientasikan pada tujuan penciptaan manusia yaitu untuk mengabdi kepada Allah. Karena itu semua Amal haruslah didasarkan pada ketaatan manusia kepada Allah terjalinnya ketaatan itu akan melahirkan taqorrub yaitu kedekatan manusia dengan makhluknya. Ketaqorruban akan melahirkan Ridlo.kerelaan dari Allah akan menghasilkan pahala serta terhindar dari siksa Neraka.karena itu Do’a yang sering dipanjatkan oleh kaum syariah adalah agar terhindar dari siksa Neraka.
Atas dasar ketaatan itu bagi kaum Syariah Allah adalah Mukallif (yang memberikan kewajiban) dalam hubungannya dengan penetapan hukum Ia adalah AL Hakim sedangkan Manusia adalah Mukallaf. Dalam kaitannya hukum manusia adalah Mahkum Alaih( yang diberi beban hukum). Adapun yang menjadi beban dalah segala segala aktifitas Manusia khususnya berupa ibadah dan Muamalah yang pada dasarnya berkenaan dengan keharusan, larangan, kewengan untuk memilih, dengan rincian berupa hukum 5 yaitu: wajib, sunah, mubah, makruh, dan Haram.
Pendekatan ini didasarkan kurang menyentuh bagian Rohani Manusia. Pelaksanaan ajaran Agama dirasakan kering dan tidak berpengaruh pada perubahan kondisi spiritual. Bagi kaum syariah dunia ini bukan sesuatu yang kotor melainkan tempat untuk beramal, disamping sebagai Amanat dari Tuhan. Bertepatan bahwa Manusia adalah khalifah Allah di Bumi berati Manusia tidak boleh meninggalkan dunia dan Materi.
Bagi kaum syariah sumber ajaran haruslah Al qur’an sebagai sumber Utama, Hadits sumber kedua dan Ijtihad sumber ketiga. Penetapan urutan sumber ini mengandung pengertian bahwa bila masalah tertentu tidak dapat menyelesaikannya dalam Al qur’an bila hadits juga tidak memberikan jawaban maka diusahakan jawaban dengan Ijtihad (yang juga tetap mendasarkan diri pada sumber kedua).
Bagi kaum sayriah tingkatan keshahihan hadits sangat penting dalam penetapan Hukum berdasarkan hadits dhoif (lemah). Mereka menolak juga hasil Ijtihad yang berlawanan dengan patokan umum Al- qur’an dan Hadits shahih.[4]

4.      Persamaan dan perbedaan Sufisme dan Syariah
Tentang hubungan Manusia dengan Allah kedua golongan itu sama-sama menempatkan Allah sebagai tujuan Ibadah. Perbedaan terletak pada segi motifasinya. Kaum sufi berkeinginan lebur bersama Allah karena dorongan cinta atau ijtihad, sedangkan pada kaum syari’ah motifasinya adalah keinginan taat kepada Allah. Kesulitan kaum syariah menerima paham ijtihad adalah karena kaum syariah menyakini kemustahilan menyatunya makhluk kholik dalam satu diri. Mengenai syatahat yang ditentang oleh kaum syariah agaknya dapat ditolelir dengan menempatkan peristiwa itu sebagai keadaan mabuk (syakr) yang dikenal dalam tasawuf mabuk itu terjadi tatkala sufi sedang tenggelam dalam tafakur yang dalam sehingga ia tidak sadar diri.
Dalam syariah diakui orang yang sedang tidak sadar diri itu terlepas dari tuntutan hukum. Akibat yang timbul memang kurang baik bila pengalaman pribadi itu diajarkan kepada orang lain yang kondisi rohaninya berbeda. Tentang pendekatan Akal dan rohani itu sebenarnya keduanya saling melengkapi. Bila hanya pendekatan Akal maka pengalaman beragama akan kering, bila pendekatan rohani saja maka norma-norma hukum mungkin saja terabaikan. Karena itu sangat tepat ketika Al-ghozali mengatakan bahwa penyerasian pendekatan Akal dengan rasa dalam melaksanakan ajaran Agama sangatlah perlu.[5]
Didalam tasawuf mimpi dijadikan salah satu sumber ajaran.ini dapat berakibat ajaran islam itu melampui ketentuan yang ada. Memang benar salah satu cara penyampaian petujuk kepada Nabi ialah melalui mimpi, tetapi kualitas mimpi orang bukan Nabi amat berbeda dari kualitas mimpi para Rosul dan Nabi. Seandainya mimpi diyakini mimpi diyakini kebenarannya sedangkan yang bermimpi itu bukan Nabi atau Rosul atau orang yang jelas kesholihannya maka tentulah daerah keberlakuannya sangatlah khusus dan pribadi.
Bila petunjuk melalui mimpi itu diperlakukan juga bagi orang lain maka akan terjadi revisi terhadap ajaran Islam mengingat kondisi orang yang bermimpi tidaklah sama.[6]
 
 IV.            KESIMPULAN
Bahwa untuk mencapai kesempurnaan beragama pendekatan rasa(pendekatan tasawuf) memang diperlukan tetapi pedekatan hukum(pendekatan syariah) tidak boleh ditinggalkan karena keduanya sangat penting.
Tidak mungkin orang yang betul-betul mencintai tanpa patuh yang dicintai.
Mencintai itu tasawuf dan dimaksud patuh adalah patuh dalam hukum syariah. Rasa dan pikir sama pentingnya karena kepentingan itu maka kedua alat itu dianugerahkan Allah kepada kita.
Kehidupan dunia dan materi adalah penting mengejar Akhirat juga penting tetapi tajaran haruslah pada kepentingan akhirat sebab jika tingkat kepentingannya disamakan maka manusia akan cenderung mementingkan dunia.


DAFTAR PUSTAKA.
Muslihudin Muhammad, Filsafat Hukum Islam dan pemikiran Oreantalis studi  perbandingan sistem hukum islam
(Yogyakarta: PT. Tiara wacana yogya,1991)
Praja Juhaya. S, model tasawuf menurut syariah(suryalaya, tasikmalaya: PT. Latifah Press, 1995)
Tebba sudirman, tasawuf positif (bogor:PT. Kencana, 2003)




[1] Muhammad Muslihudin, Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: PT. Tiara wacana hal.45
[2] Juhaya S. Praja. Tasikmalaya: PT. Latifah Press, 1995 hlm. 1-2
[3] Ibid. Hlm. 2-6
[4] Ibid hlm. 6-9
[5] Ibid. Hlm. 9-13
[6] Sudirman tebba, tasawuf, positif. Bogor: PT. Kencana, 2003 hlm. 205-209

Kamis, 04 Oktober 2012

Perbedaan Iblis, Syetan dan Jin



Perbedaan Iblis, Syetan dan Jin

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan risalah yang umum dan menyeluruh. Tidak hanya untuk kalangan Arab saja namun juga untuk selain Arab. Tidak khusus bagi kaumnya saja, namun bagi umat seluruhnya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengutusnya kepada segenap Ats-Tsaqalain: jin dan manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 Katakanlah: `Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.”
(Al-A’raf: 158)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 Adalah para nabi itu diutus kepada kaumnya sedang aku diutus kepada seluruh manusia.”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
 Dan ingatlah ketika Kami hadapkan sekumpulan jin kepadamu yang mendengarkan Al-Qur`an. Maka ketika mereka menghadiri pembacaannya lalu mereka berkata: `Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’. Ketika pembacaan telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: `Wahai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al-Qur`an) yang telah diturunkan setelah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan jalan yang lurus. Wahai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah, maka dia tidak akan lepas dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata’.” (Al-Ahqaf: 29-32)

Jin Diciptakan Sebelum Manusia
Tak ada satupun dari golongan kaum muslimin yang mengingkari keberadaan jin. Demikian pula mayoritas kaum kuffar meyakini keberadaannya. Ahli kitab dari kalangan Yahudi dan Nashrani pun mengakui eksistensinya sebagaimana pengakuan kaum muslimin, meski ada sebagian kecil dari mereka yang mengingkarinya. Sebagaimana ada pula yang mengingkarinya yakni dari kalangan orang bodoh dan sebagian Mu’tazilah.

Jelasnya, keberadaan jin merupakan hal yang tak dapat disangkal lagi mengingat pemberitaan dari para nabi sudah sangat mutawatir dan diketahui orang banyak. Secara pasti, kaum jin adalah makhluk hidup, berakal dan mereka melakukan segala sesuatu dengan kehendak. Bahkan mereka dibebani perintah dan larangan, hanya saja mereka tidak memiliki sifat dan tabiat seperti yang ada pada manusia. (Idhahu Ad-Dilalah fi ’Umumi Ar-Risalah hal. 1, lihat Majmu’ul Fatawa, 19/9)

Jin lebih dahulu diciptakan daripada manusia sebagaimana dikabarkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya:
 Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 26-27)

Karena jin lebih dulu ada, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mendahulukan penyebutannya daripada manusia ketika menjelaskan bahwa mereka diperintah untuk beribadah seperti halnya manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
 Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)

Jin, Setan, dan Iblis
Kalimat jin, setan, ataupun juga Iblis seringkali disebutkan dalam Al-Qur`an, bahkan mayoritas kita pun sudah tidak asing lagi mendengarnya. Sehingga eksistensinya sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak lagi diragukan, berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah serta ijma’ ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tinggal persoalannya, apakah jin, setan, dan Iblis itu tiga makhluk yang berbeda dengan penciptaan yang berbeda, ataukah mereka itu bermula dari satu asal atau termasuk golongan para malaikat?

Yang pasti, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menerangkan asal-muasal penciptaan jin dengan firman-Nya:
 Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (Al-Hijr: 27)

Juga firman-Nya:
 Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.” (Ar-Rahman: 15)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 Para malaikat diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api, dan Adam diciptakan dari apa yang disifatkan kepada kalian.” (HR. Muslim no. 2996 dari ’Aisyah radhiallahu ‘anha)

Adapun Iblis, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentangnya:
 Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali Iblis. Dia adalah dari golongan jin…” (Al-Kahfi: 50)

Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Iblis mengkhianati asal penciptaannya, karena dia sesungguhnya diciptakan dari nyala api, sedangkan asal penciptaan malaikat adalah dari cahaya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengingatkan di sini bahwa Iblis berasal dari kalangan jin, dalam arti dia diciptakan dari api. Al-Hasan Al-Bashri berkata: ‘Iblis tidak termasuk malaikat sedikitpun. Iblis merupakan asal mula jin, sebagaimana Adam sebagai asal mula manusia’.”
(Tafsir Al-Qur`anul ’Azhim, 3/94)

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu mengatakan:
Iblis adalah abul jin (bapak para jin).” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 406 dan 793)
Sedangkan setan, mereka adalah kalangan jin yang durhaka.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu pernah ditanya tentang perbedaan jin dan setan, beliau menjawab:
Jin itu meliputi setan, namun ada juga yang shalih. Setan diciptakan untuk memalingkan manusia dan menyesatkannya. Adapun yang shalih, mereka berpegang teguh dengan agamanya, memiliki masjid-masjid dan melakukan shalat sebatas yang mereka ketahui ilmunya. Hanya saja mayoritas mereka itu bodoh.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin).


Siapakah Iblis?
Terjadi perbedaan pendapat dalam hal asal-usul iblis, apakah berasal dari malaikat atau dari jin.

Pendapat pertama menyatakan bahwa iblis berasal dari jenis jin. Ini adalah pendapat Al-Hasan        Al-Bashri rahimahullahu. Beliau menyatakan: “Iblis tidak pernah menjadi golongan malaikat sekejap matapun sama sekali. Dan dia benar-benar asal-usul jin, sebagaimana Adam adalah asal-usul manusia.” (Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsir surat Al-Kahfi ayat 50, dan dishahihkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya)

Pendapat ini pula yang tampaknya dikuatkan oleh Ibnu Katsir, Al-Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur‘an (3/215), dan Asy-Syinqithi dalam kitabnya Adhwa`ul Bayan (4/120). Penjelasan tentang dalil pendapat ini beliau sebutkan dalam kitab tersebut. Secara ringkas, dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Kema’shuman malaikat dari perbuatan kufur yang dilakukan iblis, sebagaimana firman Allah:
“…yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
 Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan, dan mereka mengerjakan perintah-      perintah-Nya.” (Al-Anbiya`: 27)

2. Dzahir surat Al-Kahfi ayat 50
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam’, maka sujudlah mereka kecuali iblis. Dia adalah dari golongan jin, lalu ia mendurhakai perintah Rabbnya.”
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa iblis dari jin, dan jin bukanlah malaikat. Ulama yang memegang pendapat ini menyatakan: “Ini adalah nash Al-Qur`an yang tegas dalam masalah yang diperselisihkan ini.” Beliau juga menyatakan: “Dan hujjah yang paling kuat dalam masalah ini adalah hujjah mereka yang berpendapat bahwa iblis bukan dari malaikat.”

Adapun pendapat kedua yang menyatakan bahwa iblis dari malaikat, menurut Al-Qurthubi, adalah pendapat jumhur ulama termasuk Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Alasannya adalah firman Allah:
 Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: ‘Sujudlah kamu kepada Adam,’ maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 34)
Juga ada alasan-alasan lain berupa beberapa riwayat Israiliyat yang disebutkan para ahli tafsir dari sekelompok ulama salaf, seperti Ibnu ‘Abbas dan selainnya, bahwa dahulu iblis termasuk pembesar malaikat, penjaga surga, mengurusi urusan dunia, dan namanya adalah ‘Azazil.

Siapakah Setan?
Setan atau Syaithan (شَيْطَانٌ) dalam bahasa Arab diambil dari kata (شَطَنَ) yang berarti jauh. Ada pula yang mengatakan bahwa itu dari kata (شَاطَ) yang berarti terbakar atau batal. Pendapat yang pertama lebih kuat menurut Ibnu Jarir dan Ibnu Katsir, sehingga kata Syaithan artinya yang jauh dari kebenaran atau dari rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala (Al-Misbahul Munir, hal. 313).
Ibnu Jarir menyatakan, syaithan dalam bahasa Arab adalah setiap yang durhaka dari jin, manusia atau hewan, atau dari segala sesuatu.

Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
(Dalam ayat ini) Allah menjadikan setan dari jenis manusia, seperti halnya setan dari jenis jin. Dan hanyalah setiap yang durhaka disebut setan, karena akhlak dan perbuatannya menyelisihi akhlak dan perbuatan makhluk yang sejenisnya, dan karena jauhnya dari kebaikan. (Tafsir Ibnu Jarir, 1/49)
Ibnu Katsir menyatakan bahwa syaithan adalah semua yang keluar dari tabiat jenisnya dengan kejelekan (Tafsir Ibnu Katsir, 2/127). Lihat juga Al-Qamus Al-Muhith (hal. 1071).

Yang mendukung pendapat ini adalah surat Al-An’am ayat 112:
Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (Al-An’am: 112)
Al-Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Dzar radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Aku datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berada di masjid. Akupun duduk. Dan beliau menyatakan: “Wahai Abu Dzar apakah kamu sudah shalat?” Aku jawab: “Belum.” Beliau mengatakan: “Bangkit dan shalatlah.” Akupun bangkit dan shalat, lalu aku duduk. Beliau berkata: “Wahai Abu Dzar, berlindunglah kepada Allah dari kejahatan setan manusia dan jin.” Abu Dzar berkata: “Wahai Rasulullah, apakah di kalangan manusia ada setan?” Beliau menjawab: “Ya.”
Ibnu Katsir menyatakan setelah menyebutkan beberapa sanad hadits ini: “Inilah jalan-jalan hadits ini. Dan semua jalan-jalan hadits tersebut menunjukkan kuatnya hadits itu dan keshahihannya.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/172)

Yang mendukung pendapat ini juga hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Muslim:
 Anjing hitam adalah setan.”
Ibnu Katsir menyatakan: “Maknanya –wallahu a’lam– yaitu setan dari jenis anjing.”
(Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)
Ini adalah pendapat Qatadah, Mujahid dan yang dikuatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Katsir, Asy-Syaukani dan Asy-Syinqithi.

Ketika membicarakan tentang setan dan tekadnya dalam menyesatkan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Iblis menjawab: ‘Beri tangguhlah aku sampai waktu mereka dibangkitkan’, Allah berfirman: ‘Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh.’ Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukumiku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).”
(Al-A’raf: 14-17)

Setan adalah turunan Iblis, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
 Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang dzalim.” (Al-Kahfi: 50)
Turunan-turunan Iblis yang dimaksud dalam ayat ini adalah setan-setan.
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 453)

Penggambaran Tentang Jin
Al-jinnu berasal dari kata janna syai`un yajunnuhu yang bermakna satarahu (menutupi sesuatu). Maka segala sesuatu yang tertutup berarti tersembunyi. Jadi, jin itu disebut dengan jin karena keadaannya yang tersembunyi.
Jin memiliki roh dan jasad. Dalam hal ini, Syaikhuna Muqbil bin Hadi rahimahullahu mengatakan: “Jin memiliki roh dan jasad. Hanya saja mereka dapat berubah-ubah bentuk dan menyerupai sosok tertentu, serta mereka bisa masuk dari tempat manapun. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kita agar menutup pintu-pintu sembari beliau mengatakan: ‘Sesungguhnya setan tidak dapat membuka yang tertutup’. Beliau memerintahkan agar kita menutup bejana-bejana dan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Demikian pula bila seseorang masuk ke rumahnya kemudian membaca bismillah, maka setan mengatakan: ‘Tidak ada kesempatan menginap’. Jika seseorang makan dan mengucapkan bismillah, maka setan berkata: ‘Tidak ada kesempatan menginap dan bersantap malam’.” (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)

Jin bisa berujud seperti manusia dan binatang. Dapat berupa ular dan kalajengking, juga dalam wujud unta, sapi, kambing, kuda, bighal, keledai dan juga burung. Serta bisa berujud Bani Adam seperti waktu setan mendatangi kaum musyrikin dalam bentuk Suraqah bin Malik kala mereka hendak pergi menuju Badr. Mereka dapat berubah-ubah dalam bentuk yang banyak, seperti anjing hitam atau juga kucing hitam. Karena warna hitam itu lebih signifikan bagi kekuatan setan dan mempunyai kekuatan panas. (Idhahu Ad-Dilalah, hal. 19 dan 23)

Kaum jin memiliki tempat tinggal yang berbeda-beda. Jin yang shalih bertempat tinggal di masjid dan tempat-tempat yang baik. Sedangkan jin yang jahat dan merusak, mereka tinggal di kamar mandi dan tempat-tempat yang kotor. (Nashihatii li Ahlis Sunnah Minal Jin)

Tulang dan kotoran hewan adalah makanan jin. Di dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
Carikan beberapa buah batu untuk kugunakan bersuci dan janganlah engkau carikan tulang dan kotoran hewan.” Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku pun membawakan untuknya beberapa buah batu dan kusimpan di sampingnya. Lalu aku menjauh hingga beliau menyelesaikan hajatnya.”
Aku bertanya: “Ada apa dengan tulang dan kotoran hewan?”
Beliau menjawab: “Keduanya termasuk makanan jin. Aku pernah didatangi rombongan utusan jin dari Nashibin, dan mereka adalah sebaik-baik jin. Mereka meminta bekal kepadaku. Maka aku berdoa kepada Allah untuk mereka agar tidaklah mereka melewati tulang dan kotoran melainkan mereka mendapatkan makanan.” (HR. Al-Bukhari no. 3860 dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dalam riwayat Muslim disebutkan: “Semua tulang yang disebutkan nama Allah padanya”, ed)

Dikutip dari salfy.or.id offline 
Penulis : Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf.