Makna Rangkaian Tembang Macapat Jawa
Diposting oleh : Ipung
Diposting oleh : Ipung
Rangkaian sastra yang di bubuhkan dalam bentuk tembang
Macapat Jawa yang diawali dari mijil
sampai pucung bisa diartikan sebagai
unsur yang mengkiaskan fase-fase kehidupan manusia Jawa. dilihat dari
perspektif alur dan makna yang terkandung dalam rangkaian tembang Macapat Jawa
tersebut, adalah sebuah rangkaian alur kehidupan dan keberadaan manusia
(ontologi), cara menemukan hakikat hidup yang benar (epistemologi), dan
sekaligus mempunyai nilai etik jawa (aksiologi). Dalam hal ini ketiga unsur
tersebut adalah kerangka yang membangun filsafat
Jawa itu sendiri, Menurut Suro Gendeng seorang pelaku budaya dan sepiritual
asal Matesih Kab. Karanganyar.
Menurutnya, fase kehidupan manusia Jawa itu cenderung
bersifat sirkuler yaitu dari A sampai
Z lalu kembali ke A lagi, maka, pada tembang Macapat Jawa rangkaiannya diawali
dari maskumambang sampai pucung. Unsur-unsur yang dimaksud adalah
tentang guru gatra, guru wilangan, dan guru lagu. Guru gatra,
adalah hal yang menyatakan banyaknya baris dalam setiap bait, sedangkan guru wilangan, merupakan hal yang
menyatakan banyaknya suku kata dalam tiap-tiap lirik, dan guru lagu, itu yang menyatakan unsur bunyi pada suku kata terakhir
pada tiap-tiap gatra atau lirik.
Dikatakannya bahwa untuk mekmanai nilai filosofis
dalam rangkaian tembang Macapat adalah dengan urutan sebagai berikut : Maskumambang (4 gatra), Mijil (6 gatra), Kinanti (6 gatra), Sinom
(9 gatra), Asmarandana (7 gatra), Gambuh (5 gatra), Dhandhanggula (10 gatra), Durma
(7 gatra), Pangkur (7 gatra), megatruh (5 gatra), dan pucung (4 gatra). "Dalam struktur Guru wilangan, yakni maskumambang diawali dengan guru
wilangan 12 dan pucung diakhiri
dengan guru wilangan 12". Jelasnya. Dengan demikian dalam perspektif
struktur dan alur yang ada, rangkaian tersebut sudah tersusun secara filosofis.
Hal ini juga selaras dengan tangga nada tembang Jawa yang diawali dari nada 1
(dibaca: ji) dan diakhiri dengan nada
1 aksen (dibaca: pi). "Tambah
dia".
Selanjutnya, makna yang tersirat dalam rangkaian tembang tersebut juga mengkiaskan tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi Jawa yang juga tersusun secara
sirkuler sejak dari rahim ibu kandung
hingga kerahim Ibu Pertiwi. Makna yang tersirat pada tembang Macapat Jawa
adalah sebagai berikut:
Maskumambang
menyiratkan tentang keberadaan manusia ketika masih jadi bayi dalam rahim atau
kandungan sang Ibu. Kata mas artinya
belum bisa diketahui jenis kelaminnya, kata Kumambang
artinya terapung, jadi maskumambang diartikan sebagai sesuatu yang belum
diketahui jenis kelaminnya yang terapung dalam rahim Ibunya (guagarbha).
Kemudian, ketika si bayi lahir dari guagarbha sang Ibu, ini dilambangkan
dengan tembang Mijil. Kata Mijil berarti keluar. Jadi, bayi yang
terlahir dari rahim Ibu ke dunia, dalam istilah Jawa disebut mijil saking gua garbha sang biyung
"lanjutnya".
Setelah itu sibayi akan menjadi seorang anak kecil,
pada masa ini ia harus khinanti atau
disertai, ditunggui atau di bimbing. Khinanti
sesuai asal katanya khanti
yakni serta atau nanti, maka seorang anak yang masih kecil harus disertai oleh
seorang pembimbing.
Seiring perkembangan waktu, maka sianak akan tumbuh
menjadi remaja atau bocah enom atau enom-enoman (taruna). Fase ini dilambangkan
dengan tembang Sinom. Sinom juga merupakan nama bagi daun asam
yang masih muda. Dalam istilah konotasi bahasa Indonesia, orang yang masih muda
belia dikatakan sebagai daun muda.
Pada masa muda inilah maka seseorang akan mengenal
asmara atau cinta yang merupakan kodrat manusia sebagi makhuk yang juga
dilahirkan dari benih-benih cinta. Masa ini digambarkan dalam bentuk tembang
macapat Asmarandana, hal ini sesuai
dengan arti kata yang membentuk gabungan kata asmarandana dari kata asmara
yang berarti cinta dan ndana yang
berarti memberi. Ada juga yang mengartikan kata ndana ini dari kata dahana yang
berarti api, maksudnya, ketika masa muda api cinta seseorang akan
berkobar-kobar.
Sehabis memasuki masa-masa indah atau masa berpacaran
yang didasari dari rasa cinta tersebut, maka kedua insan itu harus diberi
persetujuan (sarujuk) sebagai obat (gambuh)
yang bisa menurunkan panasnya kobaran api asmara tersebut. ini dilambangkan
dengan tembang Gambuh itu sendiri ,
dan gambuh yang dimaksud adalah upacara perkawinan (wiwaha homa). Untuk menjalani hidup bebrayan .
Tatkala itulah mereka mengarungi bahtera rumah tangga
baik suka maupun duka, ini dilambangkan dengan tembang Dhandhanggula. Kata dhandhang berarti burung gagak yang
melambangkan kesedihan, sedang gula
yang berarti manis sebagai lambang kebahagiaan. Untuk itulah maka setiap
keluarga dalam masyarakat jawa harus mampu melampaui kehidupan rumah tangga
yang kadang manis seperti gula namun kadang juga harus mau menelan pil pahit
sebagi obat untuk menjadikan mereka lebih tangguh dan tanggap dalam setiap
keadaan.
Disela-sela perjalanan untuk menggapai semua cita-cita
dalam hidup berumah tangga tersebut, maka mereka diwajibkan untuk dapat
memberikan yang terbaik (darma) baik
untuk keluarga dan sesamanya. Kesemuanya ini dilambangkan dalam tembang Durma. Kata durma sendiri berkaitan erat
secara filosofis dengan kata derma
atau drema. Karena perubahan bunyi
maka derma bisa menjadi durma.
Setelah melewati bahtera rumah tangga maka sudah
saatnya mereka mengurangi hawa nafsu dan mungkur dari hal-hal yang berbau
kemewahan duniawi. Hal ini dilambangkan dengan tembang Pangkur . kata itu berasal dari kata pungkur atau mungkur yang
berarti belakang atau sudah lewat, dalam tradisi jawa setelah manusia menginjak
usia tua, maka mereka harus bisa menjadi sesepuh yang bisa memberiakn
petuah-petuah kepada anak cucunya. Dan memang dalam kasanah sastra Jawa,
tembang pangkur ini biasanya banyak
mengandung petuah-petuah yang berisikan pada ngelmu tuwa guna memperbaiki
(nyepuh) sesuatu agar menjadi lebih baik.
Dalam usianya yang semakin tua setelah menjalani hidup
pasca berumah tangga, maka bagi seorang manusia hanyalah tinggal menunggu
giliran datangnya ajal. untuk itu, sebelumnya manusia harus mempersiapkan bekal
yang cukup agar kelak ketika ajal menjemput atau mati bisa tenang di alam
keabadian. Kondisi ini merupakan perlambang yang merupakan kesan pada tembang Megatruh. Kata ini berasal dari kata pegat yang berarti putus, dan ruh yang berarti nyawa, artinya putus
hubungan antara ruh atau nyawa dengan badan atau raga. Selain itu, lanjutnya,
secara badani ia sudah megat trah
yang berarti berpisah dengan keturunannya.
Setelah mati (megatruh)
maka atma atau nyawa akan meninggalkan badan atau raganya didunia yang fana
ini. Badan atau raga yang ditinggalkan biasanya akan dirawat sebagaimana
mestinya. Jasadnya akan dimandikan hingga akhirnya dibungkus dengan kain putih
(dipocong). Ini adalah makna dari adanya tembang pucung yang juga berarti pocong,
setelah dipucung atau di pocong maka ia akan dikembalikan ke rahim Ibu
pertiwi untuk disemanyamkan disana.
Selain itu, menurut Surogendeng, jika pada saat
didalam rahim Ibu kandungnya ia ditemani sedulur papat (lambang maskumambang
dengan guru gatra 4), maka ketika dipocong di rahim Ibu pertiwi tersebut ia
juga harus mengembalikan sedulur papatnya (lambang pucung dengan guru gatra 4)
hingga nantinya ia dapat kembali kepada gustinya (manunggaling kawulo atau mukso).
Menyimak uraian diatas, maka aspek filosofis yang
terkandung dalam struktur alur dan makna rangkaian tembang Macapat Jawa
tersebut adalah menggambarkan siklus kehidupan manusia dari sebelum lahir,
lahir, hidup sampai mati, meskipun tidak dipungkiri bahwa rangkaian tembang
Macapat Jawa juga memiliki sifat multidimensi
yang bisa dipandang dari segala sudut. Tapi terlepas dari itu semua, aspek filosofi yang terkandung semestinya
bisa dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan manusia agar manusia bisa hidup
secara teratur, berhati-hati
atau eling lan waspada, tabah menjalaninya dan akhirnya akan tercapai tujuan
akhir atau dalam istilah jawa disebut dengan tata, titi, tatag dan tutug.
//ipung