Kamis, 17 Desember 2015

MARTABAT TUJUH



Martabat Tujuh

1. MARTABAT AHADIYAT
2. MARTABAT WAHDAT
3. MARTABAT WAHIDIYAT
4. ALAM ARWAH
5. ALAM MISAL
6. ALAM AJSAM
7. ALAM INSAN KAMIL 


1. Martabat Ahadiyat.
Ini adalah Martabat Tertinggi Ketuhanan. Tuhan digambarkan sebagai Dzat yang tidak bisa disebut dengan apa pun. Inilah Tuhan Sejati bagi manusia, tidak pandang bangsa dan agama. Dalam Islam sering disebut dengan keadaan Kunhi Dzat atau Dzat semata. Para sufi Jawa yang banyak dipengaruh oleh filsafat Hindu menyebutkan dengan istilah Aku. Pada keadaan ini, tidak ada sesuatu selain Dzat Tuhan. Kosong hampa. Sunyi-senyap. Tidak ada sifat, nama, atau perbuatan. Maka Ibn ‘Arabi pernah melontarkan gagasan kesatuan semua agama. Hal ini bisa diterima jika dipandang dalam keadaan ini, yakni keadaan Aku semata.


2. Martabat Wahdat.
Dalam Martabat Ahadiyat, Tuhan adalah Dzat Suci yang berdiri sendiri. Tak ada yang lain selain Diri-Nya. Dia rindu untuk dikenal, namun siapa yang akan mengenal-Nya karena tidak ada yang lain selain Diri-Nya. Tuhan berkehendak menciptakan makhluk agar Diri-Nya dikenal oleh makhluk tersebut. Inilah proses awal penciptaan. Tuhan hendak menciptakan makhluk. Untuk menciptakan sesuatu pastilah menggunakan bahan. Bahan tersebut diambil dari-Nya sendiri. Logis, karena tidak ada bahan lain selain Diri-Nya. Tidak tersisa ruang sedikit pun untuk selain Diri-Nya,maka otamatis Tuhan mengambil bahan dari Diri-Nya sendiri. Sebenarnya pencipaan ini lebih bersifat maknawi, Dia tidak pernah membuat sesuatu yang baru, namun hanya menampakkan Diri dengan penampakan lain atau tajalli.Tuhan menurunkan kualitas Diri-Nya, dari Dzat Mutlak yang teramat Suci menjadi dua sebagaimana dibayangkan akal. Tidak seperti itu sama sekali. Penurunan ini hanya sekedar ungkapan yang bermakna simbolis. Sama halnya dengan air laut yang menampakan diri dengan penampakan lain berupa gelombang.Sebenarnya tidak ada bedanya antara air laut dan gelombang, keduannya adalah satu juga.
Inilah martabat Tuhan yang kedua yakni Martabat Wahdat. Dia sudah melakukan proses pencipaan pertama. Ciptaan pertama-Nya ini berupa Nur Muhammad atau Cahaya Muhammad. Ranggawarsita menyebutnya sebagai Syajaratul Yakin atau Pohon Keyakinan. Ibnu ‘Arabi menjabarkannya sebagai Asyajaratul Kaun atau Pohon Kejadian. Cahaya ini memiliki nama agar mudah dikenali. Orang-orang Islam menyebut-Nya dengan sebutan Allah. Di berfirman : “Allah adalah Cahaya bagi langit dan bumi.” Nur Muhammad bukan Tuhan tapi juga bukan makhluk. Ia ada di tengah-tengah antara keduannya. Namun dalam Martabat Wahidiyat ini, Nur MUhammad lebih bersifat ketuhanan. Allah yang di sembah orang-orang hakikatnya adalah Tuhan yang sudah menurunkan Diri, bukan Tuhan Sejati. Tuhan Sejati itu adalah Dzat Mutlak atau Aku.


3. Martabat Wahidiyat.
Penampakan atau tajalli Tuhan berikut ini adalah Martabat Wahidiyat. Pada martabat ini, Nur Muhammad yang bernama Allah dan bersifat ketuhanan menurunkan Diri menjadi Nur Muhammad yang bersifat kemakhlukan. Maka cahaya ini tidak lagi sebagai Tuhan, namun sebagai makhluk yang masih berupa satukesatuan cahaya. Disinilah terjadi proses pencitaan sebagaimana digambarkan oleh Ibn ‘Arabi dalam pohon kejadian yang tidak pernah putus mengalir. Benih tersebut berasal dari Cahaya Satu, dan Cahaya yang satu tersebut berasal dari Dzat-Nya.
Jadi, jelaslah, benih-benih kejadian berasal dari Cahaya Tuhan. Setiap penciptaan berasal dari-Nya. Setiap gerakan, tindakan, perkataan, pemikiran, angan-angan, semuannya bermula dari benih tersebut. Tidak ada satu gerakan pun dari makhluk yang lepas dari benih tersebut,sehigga Ranggawarsita menganggap semua makhluk sebagai anak-anak Tuhan karena berasal dari benih-Nya.
Dalam martabat ini pula Tuhan melahirkan Kehendak-Nya. Kehendak atau Iradat tersebut Dia salurkan dalam setiap benih kejadian. Tumbuhlah benih tersebut menjadi akar yang menjalar ke bawah. Akar atau Kehendak Tuhan inilah yang menjadi pondasi setiap ciptaan, maka segala sesuatu memiliki akar kejadian yakni berada di bawah kendari Tuhan dan terjadi atas kehendak-Nya.
Kehendak Tuhan merupakan ketetapan yang pasti atau takdir. Tuhan menyimpan taikdir tersebut di suatu tempat yang tersembunyi hingga tak satu pun yang mengetahuinya, kecuali orang-orang tertentu yang Dia beri kekuasaan untuk mengetahuinnya. Tuhan pun berfirman: ” Sesungguhnya Allah memiliki takdir (ketetapan) terhada segala sesuatu.” Dengan takdir inilah benih tersebut tumbuh keatas menjadi batang. Batang tersebut mampu tumbuh keatas karena memiliki kemampuan atau kudrat yang berasal dari Kudrat-Nya. Semakin tinggi batang itu naik hingga bercabang menjadi dua. Inilah sifat makhluk sejati, yakni bercabang menjadi dua yang saling berpasangan. Tuhan membuat keadaan makhluk menjadi berpasangan sebagai tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Dia memerintahkan agar manusia mengenal dua sifat yang saling berlawanan ini, “Dan Aku menciptakan laki-laki dan perempuan agar mereka saling mengenal satu sama lain.” Ini menjadi petunjuk bagi manusia untuk tidak dalam penampakan kemakhlukan yang memiliki dua pasangan. Manusia yang masih mengagungkan salah satu sifat pasangan dan mengesampingkan sifat lainnya akan tersesat. Padahal dua-duanya berasal dari-Nya. Inilah martabat yang bersifat kemakhlukan namun masih menjadi satu dan belum terpisah-pisahkan. Semua kejadian makhluk masih berbentuk konsep yang tersimpan rapi dan terjadi di sisi-Nya.


4. Alam Arwah.
Konsep atau skenario Tuhan tidak akan berwujud nyata jika tidak dimasukkan kedalam suatu wadah. Proses penampakan atau tajalli Tuhan berikutnya adalah menciptakan wahana bagi kehendak-kehendak-Nya tersebut. Dalam martabat ini, Tuhan menciptakan makhluk yang sangat halus yakni ruh. Ruh adalah sarana sebagai sumber kehidupan. Ruh itu berasal dari Diri Tuhan. Mula-mula, Ruh tersebut masih satu dan akhirnya terbagi-bagi menjadi banyak sekali. Bagian-bagian ruh tersebut siap untuk mengisi tiap-tiap bentuk yang akan diciptakan-Nya kemudian.


5. Alam Misal.
Keberadaan ruh sebagai sarana sumber kehidupan tidak akan berguna jika tidak ada suatu yang dia masuki. Tuhan menciptakan beberapa bentuk ciptaan melalui proses penurunan Diri. Dia mengambil Nur Muhammad sebagai bahan-Nya. Maka inilah makhluk sejati, bukan Tuhan, karena berasal dari Nur Muhammad yang bersifat kemakhlukan dan tidak berasal langsung dari Dzat Tuhan. Ciptaan dalam Alam Misal ini berupa makhluk-makhluk halus atau gaib namun nyata bentuknya seperti malaikat, jin, setan, jiwa, iblis, surga, neraka, dan sebagainya. Ruh-ruh datang dan memasuki setiap bentuk gaib tersebut hingga hiduplah mereka.


6. Alam Ajsam.
Bentuk-bentuk gaib pada Alam Misal di atas masih di rasa kurang sempurna. Maka Tuhan menurunkan Diri dalam penampakan terluar berupa benda-benda jasmani. Maka terlihatlah beragam materi dengan segala pernak-pernik didalamnya. Ini adalah hijap atau diding penghalang yang paling besar untuk melihat Tuhan karena dalam setiap materi tersebut dibungkus dengan syahwat. Kebanyakan manusia akan tertipu dan sulit untuk kembali ke asal-usul dirinya apabila terlena oleh penampakan fisik ini.


7. Alam Insan Kamil.
Pada akhirnya, Tuhan menurunkan Diri menjadi manusia sempurna sebagai gambaran Diri-Nya yang sempurna. Melalui manusia sempurna inilah Dia menikmati hasil ciptaan-Nya. Maka manusia dibekali akal dan hati sebagai sarana kehadiran Tuhan. Kelebihan utama manusia dibanding dengan makhluk lainnya adalah kemampuan untuk menampung kehadiran Tuhan hingga menjadi wakil (khalifah) bagi-Nya. Melalui manusia sempurna inilah harapan-Nya untuk mengenal dan dikenal akan terlaksana.


AKAL MANUSIA ADALAH SINGGASANA KEMAKMURAN-NYA
HATI MANUSIA ADALAH SINGGASANA KEMULIAAN-NYA DAN
KEMALUAN MANUSIA ADALAH SINGGASANA KESUCIAN-NYA.
Ketiga bagian tubuh manusia ini menjadi sarana vital kehidupan, sebagai tempat hadir Tuhan untuk menikmati keelokan hasil karya-Nya.

Alif Lam Lam Ha

https://kerendanunik.files.wordpress.com/2012/05/allah.gif

Selasa, 25 November 2014

SUDAH WUSHUL.......???
“Terkadang, ada  seseorang  mengambil berkah kemuliaan dengan mengungkapkan tahapan ruhani (maqam), juga ada juga orang yang sudah wushul , mengungkapkan tentang  maqam itu. Hal demikian sulit dibedakan, kecuali oleh orang yang memiliki matahati yang terang.”
Ini menunjukkan bahwa tidak setiap orang yang mampu mengungkapkan maqam-maqam dunia sufi itu, berarti ia telah meraih maqam tersebut, atau telah wushul pada Allah Swt (orang yang dibukakan ma’rifatullah) atau telah meraih hakikat. Belum tentu. Namun ia hanya mengambil berkah kemuliaan maqam itu, dengan cara mengungkapkannya.
Namun memang ada juga yang mengungkapkan wacana maqomat itu, memang karena ia sendiri telah wushul pada Allah Swt. Untuk mengetahuinya, sangat sulit, karena serupa. Kecuali orang yang memiliki matahati yang terang, yang bisa membedakannya.
Namun tanda-tanda orang yang mengungkapkan maqam tersebut, jika belum meraih wushul, menurut Syeikh Zarruq ra, ada tiga:
  1. Ketika mengungkapkan maqomat itu tampak  semangat dengan rasa gembira.
  2. Ketika menyatakannya tampak sempit maknanya, yang sesungguhnya begitu luas.
  3. Ia tampak mencari-cari faktor lain untuk meraih maqomat itu.
Oleh sebab itu, bagi para pemula (salik), seharusnya ia menahan diri untuk mengungkapkan maqamat tertentu, karena bisa berbahaya bagi dirinya sendiri.
Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Bagi sang salik (penempuh) tidak seyogyanya mengungkapkan anugerah-anugerah ruhaninya (warid), sebab hal demikian membuat amal hatinya semakin sempit, dan bisa menghalangi kebenaran kebersamanya dengan Allah Swt.”
Seorang murid (penempuh) seharusnya merahasiakan ilmu, amal, dan kondisi ruhaninya ketika meraih anugerah, sebab ketika mengungkapkannya malah jadi membuat ikhlasnya berkurang, sementara ketika menyatakan pengalaman ruhaninya, menujukkan betapa ia belum benar bersama Tuhannya.
Banyak dampak negatif ketika seseorang mengungkapkan pengalaman batinnya kepada orang lain, kecuali dalam rangka untuk pendidikan dirinya, agar ia tidak terjebak dalam khayalannya sendiri. Diantara dampak itu antara lain:
  • Seseorang bisa bangga dengan anugerah batinnya, yang bisa menimbulkan takjub dan riya’.
  • Ia malah terjebak untuk mengandalkan amal ruhaninya, bukan mengandalkan Allah Swt.
  • Ia akan terjerumus ghurur (tipudaya) karena merasa dirinya telah sampai pada tujuan hakikat, padahal baru sampai gerbangnya.
  • Ia menjadi takabur, karena merasa lebih hebat dibanding yang lain.
  • Perjalanan ruhaninya mandheg (terhenti) dan akhirnya jadi pengkhayal dan pelamun.

TUESDAY, 21 OCTOBER 2014 12:28
HITS: 378
SUFINEWS

Selasa, 30 September 2014

Tarikh Nabi Muhammad SAW (kritik historis)



by Muhamadian Rostian

Pada sebuah lokakarya tentang model pengembangan intelek tual Islam, seorang ulama berkata, “Tidak ada model yang paling baik selain model yang dicontohkan Rasulullah saw. Lihatlah apa yang dilakukan Nabi saw. ketika, di Makkah. Dia mendidik para sahabatnya di rumah Al-Arqam, yang terletak di tempat sa’iy sekarang ini. Ketika berada di Madinah, dia mendirikan shufah di dalam masjid. Shufah adalah tempat pendidikan Islam. Di situ ber kumpul kader-kader intelektual Islam yang pertama. Salah seorang di antaranya adalah Sa’ad bin Abi Waqqash. Dia orang Anshar yang kaya. jangan mengira bahwa yang tinggal di shufah itu hanya orang-orang miskin saja.”
 
Inilah salah satu contoh yang menunjukkan pentingnya tarikh Rasulullah saw (biasanya disebut sirah) Berbeda dengan tarikh tokoh yang lain, tarikh Nabi sering dijadikan sumber rujuk an untuk perumusan kebudayaan, pendidikan, sistem sosial. sistem, moral, sistem hukum dan segala cara hidup yang Islami. Nabi adalah. uswatun hasanah (teladan yang baik) tetapi, karena ini pula, maka tarikh Nabi saw. harus selalu dilihat secara kritis. Mengapa? Karena banyak orang mempertahankan kepentingan mereka, atau melegitimasikan mazhab mereka dengan tarikh Rasul ullah. Tidak jarang “tangan-tangan kotor” mencemari sejarah Nabi; sehingga kaum Muslim mungkin saja menjalankan amal -yang mereka sangka sunnah Nabi- padahal hanya dinisbahkan saja kepadanya.

Ada gerakan Islam yang menyatakan bahwa dewasa ini umat Islam di Indonesia berada pada tahap perjanjian Hudaibiyah. Yang lain mengatakan kita sedang berada pada periode Makkiyah. Yang lain lagi berpendapat bahwa kita baru saja berada di Madinah, ketika Nabi saw. bekerja sama dengan orang Yahudi dalam aturan main yang disebut Konstitusi Madinah. Tentu saja apa yang harus kita lakukan sekarang haruslah sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi saw. pada periode-periode itu. Setiap kelompok merasa bahwa kelompoknya paling sesuai dengan sunnah Nabi.
Sayang sekali, umumnya orang yang belajar dari tarikh itu tidak memiliki pengetahuan sejarah yang memadai. Mereka tidak memiliki kitab-kitab tarikh. Lebih musykil lagi, mereka menerima apa saja yang dikisahkan oleh buku tarikh — yang selain ringkas dan sederhana, juga dalam banyak hal tidak dapat dipertanggung jawabkan. Mereka dengan sangat menakjubkan mempertahankan peristiwa tarikh yang salah, atau bahkan buatan para pendongeng (al-qashashun).

Ulama — yang kita sebutkan di atas — dengan yakin me mandang perlu adanya rumah yang menjadi markas pendidikan Islam. Ia menunjuk rumah Al-Arqam. Ia lupa bahwa rumah Al Arqam menjadi markas perjuangan Rasulullah saw. pada tiga tahun yang pertama dari kenabian. Waktu itu, Islam didakwahkan secara sembunyi-sembunyi. Rumah Al-Arqam adalah pusat gerakan bawah tanah yang sangat dirahasiakan. Tentu saja tidak logic menganalogikan rumah Al-Arqam dengan pondok pesantren di kota, yang diresmikan oleh walikota, misalnya. Apalagi bapak kiai itu keliru, ketika mengatakan rumah Al-Arqarn terletak di tempat sa’iy. Padahal rumah Al-Arqarn terletak di bukit Qubaisy. Peme rintah Saudi telah menghilangkan peninggalan bersejarah ini. Di atasnya sekarang didirikan istana Shafa.

Tidak tepat juga menyamakan shufah dengan universitas. Shufah adalah tempat darurat yang disediakan Nabi saw sebagai pe nampungan sementara untuk para Muhajir yang tidak mempunyai rumah. Karena itu, tidak ada orang Anshar yang menjadi ahli shufah. Bapak Kiai lupa bahwa. Sa’ad bukan orang Anshar. Ia Muhajir, yang tidak menjadi ahli shufah. Bapak Kiai mengambil pelajaran dari tarikh Nabi saw. tanpa melakukan kritik historis.

Kritik Historis Itu Bagaimana?
Para ulama Islam telah mengembangkan metode kritik tarikh Nabi saw. Mereka menyebutnya `ulum al-hadits; termasuk di dalamnya ilmu musthalah hadits, ilmu perawi hadis, ilmu pe riwayatan hadis. Tetapi Ulum al-hadits saja tidak cukup. Kita memerlukan metode analisis untuk menguji validitas internal dari riwayat, dengan meneliti inkonsistensi di dalamnya. Hanya riwayat yang lolos dari pengujian ini yang harus kita jadikan pelajaran.

Marilah kita lihat beberapa peristiwa yang terjadi ketika Rasulullah sampai ke Madinah pada peristiwa hijrah. Kita hanya mengambil riwayat yang menurut para ahli hadis sudah dianggap sahih. Dengan menggunakan kritik, historis kita akan menguji keabsahan riwayat-riwayat itu.
Dikenalnya Abubakar

Menurut Anas bin Malik, ketika Nabi saw. bersama Abu Bakar tiba di Madinah, penduduk Madinah hanya mengenal Abu Bakar. Abu Bakar sudah tua dan Nabi masih muda. Orang-orang bertanya:
“Hai Abu Bakar, siapakah anak muda di hadapanmu itu?” Abu Bakar menjawab: “la penunjuk jalan.” Orang mengira bahwa anak muda itu hanyalah “guide”; padahal yang dimaksud Abu Bakar adalah yang menunjuki jalan kebaikan”
(Shahih Bukhari Bab “Hijrah Al-Nabiy”, Sirah Ibnu Hisyam 2:109, Thabaqat Ibnu Sa’ad 1:222, Musnad Ahmad 3:287, Sirah Al-Halabiyah 2:46, 61, dan lain-lain). Riwayat ini sahih menurut ilmu hadis. Sanad-sanadnya baik. Bila kita membandingkan riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang juga sahih, kita menemukan kejanggalan-kejanggalan.

Pertama, para ahli tarikh Islam sepakat bahwa Nabi saw. lahir pada Tahun Gajah, sedangkan Abu Bakar lahir tiga tahun setelah Tahun Gajah. Ini berarti Abu Bakar tiga tahun lebih muda dari Rasulul lah saw. (Lihat Ibnu Qutaybah, Al-Maarif, hal. 75). Bagaimana mungkin pada waktu hijrah, Abu Bakar sudah tua dan Nabi masih anak muda?. Sebagian ahli hadis mengatakan: “Abu Bakar sudah dipenuhi uban sedangkan Nabi belum beruban.” Argumentasi yang manis! Tetapi mereka juga meriwayatkan hadis dari Ibnu `Abbas. Pernah Abu Bakar melihat banyak uban pada Rasulullah saw. “Ya Rasul Allah, engkau sudah beruban,” tanya Abu Bakar. Nabi berkata: “Surah Hud dan Al-Waqi’ah membuatku beruban (H.R. Turmudzi, Al-Thabrani, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2: 343, Tafsir Al-Qurthubi 7:1; Tafisr Ibnu Katsir 2:435; Tafsir Al Khazin 2:335) Surah Hud dan Al-Waqi’ah keduanya turun di Makkah. Walhasil, Nabi sudah beruban sebelum hijrah. Anda mungkin membantah saya dengan mengatakan: “Nabi mungkin mencelup rambutnya ketika tiba di Madinah.” Jika demikian, maka Anda tidak lagi melakukan studi kritis, Anda sedang ber andai-andai (kasarnya, sedang mengkhayal).

Kedua, amat mengherankan bahwa Nabi saw. tidak dikenal sama sekali. Bukankah sebelumnya Nabi saw. telah mem-bay’ah orang-orang Anshar di ‘Aqabah Mina sampai dua kali? Jumlah mereka lebih dari tujuh puluh orang? Bukankah Bani Najjar sangat mengenal Nabi, karena di situ banyak tinggal saudara-saudara Nabi saw.? Bukankah setiap musim haji, Nabi berdakwah kepada orang-­orang Madinah? Bukankah sebelum Nabi sampai di Madinah, para Muhajir sudah mendahuluinya hijrah ke Madinah? Bukankah Bukhari sendiri meriwayatkan bagaimana sambutan penduduk Madinah akan kedatangan Nabi saw. Mereka telah menunggunya ber hari-hari di pinggiran kota Yatsrib. Ketika Rasul Allah saw. dan Abu Bakar muncul dari celah-celah bukit Wada`, para sahabat menyambutnya dengan lagu “Thala’al badru `alaina, min tsaniyya til wada’. “

Antum A`lamu bi Umuri Dunyakum

Contoh lain adalah riwayat yang terkenal ini. Nabi saw. tiba di Madinah. Dia melihat orang-orang sedang mengawinkan kurma. Nabi saw. melarangnya. Penduduk Madinah mengikuti larangan Nabi itu, sehingga pohon-pohon kurma itu tidak berbuah. Mereka datang lagi kepada Nabi. Nabi berkata: “Kamu lebih tahu tentang urusan dunia kamu (Antum a’lamu bi umuri dunyakum)” Hadis ini sahih menurut Muslim.
Kita meragukan validitas riwayat ini karena beberapa hal :

Pertama, mengherankan sekali bahwa Nabi saw. yang hidup pada masyarakat yang berkebun kurma lebih dari lima puluh tahun tidak tahu cara-cara mengawin kan kurma. Dia seolah-olah baru menyaksikan perkawinan kurma itu dilakukan hanya oleh penduduk Madinah.

Kedua, seandainya Nabi saw. tidak tahu apa-apa tentang perkebunan kurma, tidak mungkin dia memerintahkan orang lain melakukan sesuatu yang tidak dia ketahui. Siti Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah itu Al-Quran. Al-Quran melarang Nabi saw. mengikuti sesuatu yang di situ tidak ada ilmunya (Surah Al-Isra’ ayat 36). Ketiga riwayat ini jelas-jelas memisahkan urusan dunia dari urusan agama — alasan yang kuat untuk membenarkan sekularisasi, Perbankan, kehidupan bernegara, kehidupan keluarga dan sebagainya tidak usah mengikuti sunnah Rasulullah saw.; karena itu semua urusan keduniaan. Dan “antum a`lamu bi umuri dunyakum.” Kesimpulan ini terjadi karena kita mempertahankan otentisitas hadis tetapi tidak menguji validitas-nya.

Puasa Asyura

Pada tanggal 10 Muharram, banyak Muslim yang saleh me lakukan puasa Asyura (Asyura artinya tanggal 10 Muharram) Mereka ingin mencontoh Rasulullah saw. yang berpuasa pada hari itu. Saya kutipkan salah satu hadis tentang puasa Asyura dari Shahih Bukhari:
“Dari Ibnu ‘Abbas, ketika Nabi Muhammad saw. tiba di Madinah dia melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi saw. bertanya: ‘Apakah ini?’ Orang-orang Yahudi berkata: ‘Ini hari yang balk. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa a.s. berpuasa pada hari itu.’ Kata Nabi saw.: ‘Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.’ Maka Nabi pun melakukan puasa dan menyuruh orang untuk melakukannya juga.”
Bukhari menyatakan -hadis ini sahih. Tetapi marilah kita teliti dengan ilmu hadis dan kritik historis. Segera kita menemukan beberapa hal yang janggal.

Pertama. sahabat yang meriwayatkan peristiwa ini adalah Abdullah ibnu ‘Abbas. Menurut para penulis biografinya, Ibnu ‘Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah. Ia hijrah ke Madinah pada tahun ketujuh Hijri. jadi, ketika Nabi saw. tiba di Madinah, Ibnu ‘Abbas masih di Makkah dan belum menyelesai kan masa balita-nya. Dari mana Ibnu ‘Abbas mengetahui peristiwa, itu? Mungkin dari sahabat Nabi yang lain, tetapi ia tidak menyebutkan siapa sahabat Nabi itu. Ia menyembunyikan sumber berita, sehingga seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa itu. Dalam ilmu hadis, perilaku seperti itu disebut tadlis (Pelakunya disebut mudallis).
Kedua, bandingkanlah riwayat ini dengan riwayat-riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas. Menurut Muslim, Nabi diriwayatkan bermaksud puasa pada hari Asyura tetapi tidak kesampaian. Dia keburu meninggal dunia. Masih menurut Muslim, dan juga dari Ibnu ‘Abbas, Nabi saw. sempat melakukannya setahun sebelum dia wafat. Bila kita bandingkan riwayat Ibnu ‘Abbas ini dengan riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain, kita akan menemukan lebih banyak lagi pertentangan. Menurut Siti Aisyah, Nabi sudah melakukan puasa Asyura sejak zaman jahiliyah. Nabi meninggalkan puasa Asyura setelah turun perintah puasa Ramadhan (Shahih Bukhari). Menurut Mu`awiyah, Nabi saw. memerintahkan puasa Asyura pada waktu haji wada [Shahih Bukhari].

Ketiga, Nabi saw. menemukan orang Yahudi berpuasa Asyura ketika dia tiba di Madinah. Semua ahli sejarah sepakat Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabi`ul Awwal. Bagaimana mungkin orang berpuasa 10 Muharram pada 12 Rabi`ul Awwal? Mungkinkah orang shalat Jum’at pada hari Senin?
Keempat, Nabi saw. diriwayatkan meniru tradisi Yahudi untuk melakukan puasa Asyura. Bukankah Nabi berulang-ulang mengingatkan umatnya untuk tidak meniru tradisi Yahudi dan Nashara? “Bedakan dirimu dari orang Yahudi,” kata Rasulullah saw. Begitu seringnya Nabi saw. mengingatkan umat Islam waktu itu untuk berbeda dengan Yahudi, sampai seorang Yahudi berkata, “Lelaki ini (maksudnya Muhammad) tidak ingin membiarkan satu pun tradisi kita yang tidak ditentangnya)” [Lihat Sirah Al-Halabi yah, 2:115].

Kelima, bila kita mempelajari ilmu perbandingan agama, kita tidak akan menemukan tradisi puasa Asyura pada agama Yahudi. Puasa Asyura hanya dikenal oleh sebagian umat Islam, berdasarkan riwayat yang otentisitas dan validitasnya kita ragukan itu.

Berdasarkan penelitian di atas, banyak di antara kita dengan setia menjalankan sunnah Rasulullah saw yang tidak benar. Bila pe nelitian historis ini kita lanjutkan kita akan menemukan bahwa puasa Asyura adalah hasil rekayasa politik Bani Umayyah. Yazid bin Mu`awiyah berhasil membantai -keluarga Rasulullah saw. di Karbela pada 10 Muharram. Bagi para pengikut keluarga Nabi saw, hari itu adalah hari dukacita, hari berkabung, bukan hari bersyukur. Bani Umayyah menjadikan hari itu hari bersyukur. Salah satu ungkapan syukurnya ialah menjalankan puasa. Di samping riwayat-riwayat di atas ditambahkan juga riwayat-riwayat lain. Konon, pada 10 Muharram Allah SWT menyelamatkan Musa dari kejaran Fir`aun, menyelamatkan Nuh dari air bah, menyelamatkan Ibrahim, dari api Namrud, dan sebagainya.

 Abu Thalib Kafir
Riwayat lain yang sangat popular di kalangan kaum Muslim. dan tampaknya juga hasil rekayasa politik adalah kisah kekafiran Abu Thalib. Abu Thalib adalah paman dan ayah-asuh Rasulullah saw. Dia membela Nabi saw. dengan jiwa raganya. Ketika Nab: saw. berdakwah dan mendapat rintangan, dia dengan tegar berkata, “Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku.” Ketika Nabi saw. dan pengikut nya diboikot di sebuah lembah, Abu Thalib mendampingi Nabi saw. dengan setia. Ketika dia melihat ‘Ali shalat di belakang Rasul ullah saw., dipanggilnya anaknya yang lain ja’far untuk juga shalat di samping-Nabi. Ketika mau meninggal dunia, Abu Thalib ber wasiat kepada keluarganya untuk selalu berada di belakang Nabi saw. dan membelanya untuk memenangkan dakwahnya. Musuh Abu Thalib dan musuh besar Rasulullah saw. waktu itu adalah Abu Sufyan. Hampir sepanjang hidupnya Abu Sufyan memerangi Nabi. Sekarang apa yang kita ketahui tentang kedua tokoh ini?  

Menakjubkan. Kita menyebut Abu Thalib kafir dan Abu Sufyan Muslim. Sesudah nama Abu Sufyan, kita mengucapkan radhiyal lahu `anhu (Semoga Allah meridhainya) Tentang Abu Thalib. kita meriwayatkan hadis bahwa dia ditempatkan di dalam neraka dengan siksaan yang paling ringan; yakni, kakinya berada di atas api neraka dan otaknya mendidih karenanya.

Untuk membuktikan bahwa Abu Thalib itu kafir, ditunjuk kan riwayat dalam Bukhari dan Muslim: Menjelang wafatnya, Nabi saw. menyuruh Abu Thalib mengucapkan la ilaha illallah. Abu jahal dan ‘Abdullah bin Umayyah memperingatkan Abu Thalib untuk tetap berpegang pada agama Abdul-Muththalib. Sampai menghembuskan napasnya yang terakhir, dia tidak mau mengucap kan kalimah tawhid itu. Maka, dia mati sebagai orang kafir. Nabi saw. merasa sangat sedih. Nabi ingin memohonkan ampunan bagi Abu Thalib, tetapi turunlah ayat Al-Tawbah 113 — melarang Nabi memohonkan ampunan bagi orang musyrik. Nabi ingin sekali Abu Thalib mendapat petunjuk Allah, tetapi Allah menegurnya, “Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai; sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakinya [al-Qashash 56].

Dengan menggunakan ilmu hadis dan memeriksa. rijal (orang -orang yang meriwayatkan hadis ini), kita akan menemukan hadis ini tidak otentik. Tidak mungkin memerinci komentar Para ahli jarh {kritik rijal}. Di sini. Sebagai contoh saja, salah seorang perawi hadis ini yang berasal dari kalangan sahabat adalah Abu Hurairah. Di sepakati oleh Para ahli tarikh bahwa Abu Hurairah masuk Islam. pada perang Khaibar, tahun ketujuh Hijri. Abu Thalib meninggal satu atau dua tahun sebelum hijrah. Di sini juga ada tadlis.
Surah ‘Al-Tawbah 113, menurut “para ahli tafsir, termasuk ayat yang terakhir turun di Madinah. Sementara itu, surah Al Qashash turun pada waktu perang Uhud. Sekali lagi kita ingatkan, Abu Thalib meninggal di Makkah sebelum Nabi berhijrah. jadi antara kematian Abu Thalib `dan turunnya kedua ayat itu ada jarak bertahun-tahun; begitu Pula ada jarak bertahun-tahun antara kedua ayat tersebut.

Telaah yang mendalarn tentang sejarah Rasulullah saw. dan riwayat Abu Thalib akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa Abu Thalib itu Mukmin. Lalu, mengapa Abu Thalib menjadi kafir sedangkan Abu Sufyan menjadi Muslim, Abu Thalib: adalah ayah `Ali. dan. Abu Sufyan adalah ayah Mu`awiyah. Ketika Mu`awiyah berkuasa, dia berusaha mendiskreditkan ‘Ali dan keluarganya. Para ulama disewa untuk memberikan fatwa yang menyudutkan keluarga Ali -lawan politiknya, Bagi ulama, tidak ada senjata yang paling ampuh selain hadis. Maka lahirlah riwayat-riwayat di atas.

Penutup

Karena campur tangan politik tidak jarang mencemari ajaran- ajaran Islam dan mengotori tarikh Rasul Allah saw., setiap studi kritis -tentang sirah Nabi saw harus digalakkan., Tujuan kita tidaklah untuk meragukan sunnah Nabi saw. Tujuan kita justru untuk memper oleh sunnah Nabi yang meyakinkan kita. Lebih baik kita mernperoleh keyakinan setelah keraguan daripada keraguan setelah keyakinan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
[Artikel diatas diambil dari Tulisan Dr. Jalaluddin Rahmat dalam bukunya “Islam Aktual”, Penerbit, Mizan, hal; 162-169]

 Sumber :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=465276721135