by Muhamadian Rostian
Pada sebuah lokakarya tentang model pengembangan intelek tual Islam,
seorang ulama berkata, “Tidak ada model yang paling baik selain model yang
dicontohkan Rasulullah saw. Lihatlah apa yang dilakukan Nabi saw. ketika, di
Makkah. Dia mendidik para sahabatnya di rumah Al-Arqam, yang terletak di tempat
sa’iy sekarang ini. Ketika berada di Madinah, dia mendirikan shufah di dalam
masjid. Shufah adalah tempat pendidikan Islam. Di situ ber kumpul kader-kader
intelektual Islam yang pertama. Salah seorang di antaranya adalah Sa’ad bin Abi
Waqqash. Dia orang Anshar yang kaya. jangan mengira bahwa yang tinggal di
shufah itu hanya orang-orang miskin saja.”
Inilah salah satu contoh yang menunjukkan pentingnya tarikh Rasulullah saw
(biasanya disebut sirah) Berbeda dengan tarikh tokoh yang lain, tarikh Nabi
sering dijadikan sumber rujuk an untuk perumusan kebudayaan, pendidikan, sistem
sosial. sistem, moral, sistem hukum dan segala cara hidup yang Islami. Nabi
adalah. uswatun hasanah (teladan yang baik) tetapi, karena ini pula, maka
tarikh Nabi saw. harus selalu dilihat secara kritis. Mengapa? Karena banyak
orang mempertahankan kepentingan mereka, atau melegitimasikan mazhab mereka
dengan tarikh Rasul ullah. Tidak jarang “tangan-tangan kotor” mencemari sejarah
Nabi; sehingga kaum Muslim mungkin saja menjalankan amal -yang mereka sangka
sunnah Nabi- padahal hanya dinisbahkan saja kepadanya.
Ada gerakan Islam yang menyatakan bahwa dewasa ini umat Islam di Indonesia
berada pada tahap perjanjian Hudaibiyah. Yang lain mengatakan kita sedang
berada pada periode Makkiyah. Yang lain lagi berpendapat bahwa kita baru saja
berada di Madinah, ketika Nabi saw. bekerja sama dengan orang Yahudi dalam
aturan main yang disebut Konstitusi Madinah. Tentu saja apa yang harus kita
lakukan sekarang haruslah sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi saw. pada
periode-periode itu. Setiap kelompok merasa bahwa kelompoknya paling sesuai
dengan sunnah Nabi.
Sayang sekali, umumnya orang yang belajar dari tarikh itu tidak memiliki
pengetahuan sejarah yang memadai. Mereka tidak memiliki kitab-kitab tarikh.
Lebih musykil lagi, mereka menerima apa saja yang dikisahkan oleh buku tarikh —
yang selain ringkas dan sederhana, juga dalam banyak hal tidak dapat
dipertanggung jawabkan. Mereka dengan sangat menakjubkan mempertahankan
peristiwa tarikh yang salah, atau bahkan buatan para pendongeng (al-qashashun).
Ulama — yang kita sebutkan di atas — dengan yakin me mandang perlu adanya
rumah yang menjadi markas pendidikan Islam. Ia menunjuk rumah Al-Arqam. Ia lupa
bahwa rumah Al Arqam menjadi markas perjuangan Rasulullah saw. pada tiga tahun
yang pertama dari kenabian. Waktu itu, Islam didakwahkan secara
sembunyi-sembunyi. Rumah Al-Arqam adalah pusat gerakan bawah tanah yang sangat
dirahasiakan. Tentu saja tidak logic menganalogikan rumah Al-Arqam dengan
pondok pesantren di kota, yang diresmikan oleh walikota, misalnya. Apalagi
bapak kiai itu keliru, ketika mengatakan rumah Al-Arqarn terletak di tempat
sa’iy. Padahal rumah Al-Arqarn terletak di bukit Qubaisy. Peme rintah Saudi
telah menghilangkan peninggalan bersejarah ini. Di atasnya sekarang didirikan istana
Shafa.
Tidak tepat juga menyamakan shufah dengan universitas. Shufah adalah tempat
darurat yang disediakan Nabi saw sebagai pe nampungan sementara untuk para
Muhajir yang tidak mempunyai rumah. Karena itu, tidak ada orang Anshar yang
menjadi ahli shufah. Bapak Kiai lupa bahwa. Sa’ad bukan orang Anshar. Ia
Muhajir, yang tidak menjadi ahli shufah. Bapak Kiai mengambil pelajaran dari
tarikh Nabi saw. tanpa melakukan kritik historis.
Kritik Historis Itu Bagaimana?
Para ulama Islam telah mengembangkan metode kritik tarikh Nabi saw. Mereka
menyebutnya `ulum al-hadits; termasuk di dalamnya ilmu musthalah hadits, ilmu
perawi hadis, ilmu pe riwayatan hadis. Tetapi Ulum al-hadits saja tidak cukup.
Kita memerlukan metode analisis untuk menguji validitas internal dari riwayat,
dengan meneliti inkonsistensi di dalamnya. Hanya riwayat yang lolos dari
pengujian ini yang harus kita jadikan pelajaran.
Marilah kita lihat beberapa peristiwa yang terjadi ketika Rasulullah sampai
ke Madinah pada peristiwa hijrah. Kita hanya mengambil riwayat yang menurut
para ahli hadis sudah dianggap sahih. Dengan menggunakan kritik, historis kita
akan menguji keabsahan riwayat-riwayat itu.
Dikenalnya Abubakar
Menurut Anas bin Malik, ketika Nabi saw. bersama Abu Bakar tiba di Madinah,
penduduk Madinah hanya mengenal Abu Bakar. Abu Bakar sudah tua dan Nabi masih
muda. Orang-orang bertanya:
“Hai Abu Bakar, siapakah anak muda di hadapanmu itu?” Abu Bakar menjawab:
“la penunjuk jalan.” Orang mengira bahwa anak muda itu hanyalah “guide”; padahal
yang dimaksud Abu Bakar adalah yang menunjuki jalan kebaikan”
(Shahih Bukhari Bab “Hijrah Al-Nabiy”, Sirah Ibnu Hisyam 2:109, Thabaqat
Ibnu Sa’ad 1:222, Musnad Ahmad 3:287, Sirah Al-Halabiyah 2:46, 61, dan
lain-lain). Riwayat ini sahih menurut ilmu hadis. Sanad-sanadnya baik. Bila
kita membandingkan riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang juga sahih,
kita menemukan kejanggalan-kejanggalan.
Pertama, para ahli tarikh Islam sepakat bahwa Nabi saw. lahir pada Tahun
Gajah, sedangkan Abu Bakar lahir tiga tahun setelah Tahun Gajah. Ini berarti
Abu Bakar tiga tahun lebih muda dari Rasulul lah saw. (Lihat Ibnu Qutaybah,
Al-Maarif, hal. 75). Bagaimana mungkin pada waktu hijrah, Abu Bakar sudah tua
dan Nabi masih anak muda?. Sebagian ahli hadis mengatakan: “Abu Bakar sudah
dipenuhi uban sedangkan Nabi belum beruban.” Argumentasi yang manis! Tetapi
mereka juga meriwayatkan hadis dari Ibnu `Abbas. Pernah Abu Bakar melihat
banyak uban pada Rasulullah saw. “Ya Rasul Allah, engkau sudah beruban,” tanya
Abu Bakar. Nabi berkata: “Surah Hud dan Al-Waqi’ah membuatku beruban (H.R.
Turmudzi, Al-Thabrani, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2: 343, Tafsir Al-Qurthubi
7:1; Tafisr Ibnu Katsir 2:435; Tafsir Al Khazin 2:335) Surah Hud dan Al-Waqi’ah
keduanya turun di Makkah. Walhasil, Nabi sudah beruban sebelum hijrah. Anda
mungkin membantah saya dengan mengatakan: “Nabi mungkin mencelup rambutnya
ketika tiba di Madinah.” Jika demikian, maka Anda tidak lagi melakukan studi
kritis, Anda sedang ber andai-andai (kasarnya, sedang mengkhayal).
Kedua, amat mengherankan bahwa Nabi saw. tidak dikenal sama sekali.
Bukankah sebelumnya Nabi saw. telah mem-bay’ah orang-orang Anshar di ‘Aqabah
Mina sampai dua kali? Jumlah mereka lebih dari tujuh puluh orang? Bukankah Bani
Najjar sangat mengenal Nabi, karena di situ banyak tinggal saudara-saudara Nabi
saw.? Bukankah setiap musim haji, Nabi berdakwah kepada orang-orang Madinah?
Bukankah sebelum Nabi sampai di Madinah, para Muhajir sudah mendahuluinya
hijrah ke Madinah? Bukankah Bukhari sendiri meriwayatkan bagaimana sambutan
penduduk Madinah akan kedatangan Nabi saw. Mereka telah menunggunya ber
hari-hari di pinggiran kota Yatsrib. Ketika Rasul Allah saw. dan Abu Bakar
muncul dari celah-celah bukit Wada`, para sahabat menyambutnya dengan lagu “Thala’al
badru `alaina, min tsaniyya til wada’. “
Antum A`lamu bi Umuri Dunyakum
Contoh lain adalah riwayat yang terkenal ini. Nabi saw. tiba di Madinah.
Dia melihat orang-orang sedang mengawinkan kurma. Nabi saw. melarangnya.
Penduduk Madinah mengikuti larangan Nabi itu, sehingga pohon-pohon kurma itu
tidak berbuah. Mereka datang lagi kepada Nabi. Nabi berkata: “Kamu lebih tahu
tentang urusan dunia kamu (Antum a’lamu bi umuri dunyakum)” Hadis ini sahih
menurut Muslim.
Kita meragukan validitas riwayat ini karena beberapa hal :
Pertama, mengherankan sekali bahwa Nabi saw. yang hidup pada masyarakat
yang berkebun kurma lebih dari lima puluh tahun tidak tahu cara-cara mengawin
kan kurma. Dia seolah-olah baru menyaksikan perkawinan kurma itu dilakukan
hanya oleh penduduk Madinah.
Kedua, seandainya Nabi saw. tidak tahu apa-apa tentang perkebunan kurma,
tidak mungkin dia memerintahkan orang lain melakukan sesuatu yang tidak dia
ketahui. Siti Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah itu Al-Quran. Al-Quran
melarang Nabi saw. mengikuti sesuatu yang di situ tidak ada ilmunya (Surah
Al-Isra’ ayat 36). Ketiga riwayat ini jelas-jelas memisahkan urusan dunia dari
urusan agama — alasan yang kuat untuk membenarkan sekularisasi, Perbankan,
kehidupan bernegara, kehidupan keluarga dan sebagainya tidak usah mengikuti
sunnah Rasulullah saw.; karena itu semua urusan keduniaan. Dan “antum a`lamu bi
umuri dunyakum.” Kesimpulan ini terjadi karena kita mempertahankan otentisitas
hadis tetapi tidak menguji validitas-nya.
Puasa Asyura
Pada tanggal 10 Muharram, banyak Muslim yang saleh me lakukan puasa Asyura
(Asyura artinya tanggal 10 Muharram) Mereka ingin mencontoh Rasulullah saw.
yang berpuasa pada hari itu. Saya kutipkan salah satu hadis tentang puasa
Asyura dari Shahih Bukhari:
“Dari Ibnu ‘Abbas, ketika Nabi Muhammad saw. tiba di Madinah dia melihat
orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi saw. bertanya: ‘Apakah ini?’
Orang-orang Yahudi berkata: ‘Ini hari yang balk. Pada hari inilah Allah
menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa a.s. berpuasa pada hari
itu.’ Kata Nabi saw.: ‘Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.’ Maka
Nabi pun melakukan puasa dan menyuruh orang untuk melakukannya juga.”
Bukhari menyatakan -hadis ini sahih. Tetapi marilah kita teliti dengan ilmu
hadis dan kritik historis. Segera kita menemukan beberapa hal yang janggal.
Pertama. sahabat yang meriwayatkan peristiwa ini adalah Abdullah ibnu
‘Abbas. Menurut para penulis biografinya, Ibnu ‘Abbas lahir tiga tahun sebelum
hijrah. Ia hijrah ke Madinah pada tahun ketujuh Hijri. jadi, ketika Nabi saw.
tiba di Madinah, Ibnu ‘Abbas masih di Makkah dan belum menyelesai kan masa
balita-nya. Dari mana Ibnu ‘Abbas mengetahui peristiwa, itu? Mungkin dari
sahabat Nabi yang lain, tetapi ia tidak menyebutkan siapa sahabat Nabi itu. Ia
menyembunyikan sumber berita, sehingga seakan-akan ia menyaksikan sendiri
peristiwa itu. Dalam ilmu hadis, perilaku seperti itu disebut tadlis (Pelakunya
disebut mudallis).
Kedua, bandingkanlah riwayat ini dengan riwayat-riwayat yang lain dari Ibnu
‘Abbas. Menurut Muslim, Nabi diriwayatkan bermaksud puasa pada hari Asyura
tetapi tidak kesampaian. Dia keburu meninggal dunia. Masih menurut Muslim, dan
juga dari Ibnu ‘Abbas, Nabi saw. sempat melakukannya setahun sebelum dia wafat.
Bila kita bandingkan riwayat Ibnu ‘Abbas ini dengan riwayat-riwayat dari
sahabat-sahabat Nabi yang lain, kita akan menemukan lebih banyak lagi
pertentangan. Menurut Siti Aisyah, Nabi sudah melakukan puasa Asyura sejak
zaman jahiliyah. Nabi meninggalkan puasa Asyura setelah turun perintah puasa
Ramadhan (Shahih Bukhari). Menurut Mu`awiyah, Nabi saw. memerintahkan puasa
Asyura pada waktu haji wada [Shahih Bukhari].
Ketiga, Nabi saw. menemukan orang Yahudi berpuasa Asyura ketika dia tiba di
Madinah. Semua ahli sejarah sepakat Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabi`ul
Awwal. Bagaimana mungkin orang berpuasa 10 Muharram pada 12 Rabi`ul Awwal?
Mungkinkah orang shalat Jum’at pada hari Senin?
Keempat, Nabi saw. diriwayatkan meniru tradisi Yahudi untuk melakukan puasa
Asyura. Bukankah Nabi berulang-ulang mengingatkan umatnya untuk tidak meniru
tradisi Yahudi dan Nashara? “Bedakan dirimu dari orang Yahudi,” kata Rasulullah
saw. Begitu seringnya Nabi saw. mengingatkan umat Islam waktu itu untuk berbeda
dengan Yahudi, sampai seorang Yahudi berkata, “Lelaki ini (maksudnya Muhammad)
tidak ingin membiarkan satu pun tradisi kita yang tidak ditentangnya)” [Lihat
Sirah Al-Halabi yah, 2:115].
Kelima, bila kita mempelajari ilmu perbandingan agama, kita tidak akan
menemukan tradisi puasa Asyura pada agama Yahudi. Puasa Asyura hanya dikenal
oleh sebagian umat Islam, berdasarkan riwayat yang otentisitas dan validitasnya
kita ragukan itu.
Berdasarkan penelitian di atas, banyak di antara kita dengan setia
menjalankan sunnah Rasulullah saw yang tidak benar. Bila pe nelitian historis
ini kita lanjutkan kita akan menemukan bahwa puasa Asyura adalah hasil rekayasa
politik Bani Umayyah. Yazid bin Mu`awiyah berhasil membantai -keluarga
Rasulullah saw. di Karbela pada 10 Muharram. Bagi para pengikut keluarga Nabi
saw, hari itu adalah hari dukacita, hari berkabung, bukan hari bersyukur. Bani
Umayyah menjadikan hari itu hari bersyukur. Salah satu ungkapan syukurnya ialah
menjalankan puasa. Di samping riwayat-riwayat di atas ditambahkan juga
riwayat-riwayat lain. Konon, pada 10 Muharram Allah SWT menyelamatkan Musa dari
kejaran Fir`aun, menyelamatkan Nuh dari air bah, menyelamatkan Ibrahim, dari
api Namrud, dan sebagainya.
Abu Thalib Kafir
Riwayat lain yang sangat popular di kalangan kaum Muslim. dan tampaknya
juga hasil rekayasa politik adalah kisah kekafiran Abu Thalib. Abu Thalib
adalah paman dan ayah-asuh Rasulullah saw. Dia membela Nabi saw. dengan jiwa
raganya. Ketika Nab: saw. berdakwah dan mendapat rintangan, dia dengan tegar berkata,
“Kalian tidak akan dapat menyentuh Muhammad sebelum kalian menguburkanku.”
Ketika Nabi saw. dan pengikut nya diboikot di sebuah lembah, Abu Thalib
mendampingi Nabi saw. dengan setia. Ketika dia melihat ‘Ali shalat di belakang
Rasul ullah saw., dipanggilnya anaknya yang lain ja’far untuk juga shalat di
samping-Nabi. Ketika mau meninggal dunia, Abu Thalib ber wasiat kepada
keluarganya untuk selalu berada di belakang Nabi saw. dan membelanya untuk
memenangkan dakwahnya. Musuh Abu Thalib dan musuh besar Rasulullah saw. waktu
itu adalah Abu Sufyan. Hampir sepanjang hidupnya Abu Sufyan memerangi Nabi.
Sekarang apa yang kita ketahui tentang kedua tokoh ini?
Menakjubkan. Kita menyebut Abu Thalib kafir dan Abu Sufyan Muslim. Sesudah
nama Abu Sufyan, kita mengucapkan radhiyal lahu `anhu (Semoga Allah
meridhainya) Tentang Abu Thalib. kita meriwayatkan hadis bahwa dia ditempatkan
di dalam neraka dengan siksaan yang paling ringan; yakni, kakinya berada di
atas api neraka dan otaknya mendidih karenanya.
Untuk membuktikan bahwa Abu Thalib itu kafir, ditunjuk kan riwayat dalam
Bukhari dan Muslim: Menjelang wafatnya, Nabi saw. menyuruh Abu Thalib
mengucapkan la ilaha illallah. Abu jahal dan ‘Abdullah bin Umayyah
memperingatkan Abu Thalib untuk tetap berpegang pada agama Abdul-Muththalib.
Sampai menghembuskan napasnya yang terakhir, dia tidak mau mengucap kan kalimah
tawhid itu. Maka, dia mati sebagai orang kafir. Nabi saw. merasa sangat sedih.
Nabi ingin memohonkan ampunan bagi Abu Thalib, tetapi turunlah ayat Al-Tawbah
113 — melarang Nabi memohonkan ampunan bagi orang musyrik. Nabi ingin sekali
Abu Thalib mendapat petunjuk Allah, tetapi Allah menegurnya, “Sesungguhnya
engkau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau cintai;
sesungguhnya Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakinya
[al-Qashash 56].
Dengan menggunakan ilmu hadis dan memeriksa. rijal (orang -orang yang
meriwayatkan hadis ini), kita akan menemukan hadis ini tidak otentik. Tidak
mungkin memerinci komentar Para ahli jarh {kritik rijal}. Di sini. Sebagai
contoh saja, salah seorang perawi hadis ini yang berasal dari kalangan sahabat
adalah Abu Hurairah. Di sepakati oleh Para ahli tarikh bahwa Abu Hurairah masuk
Islam. pada perang Khaibar, tahun ketujuh Hijri. Abu Thalib meninggal satu atau
dua tahun sebelum hijrah. Di sini juga ada tadlis.
Surah ‘Al-Tawbah 113, menurut “para ahli tafsir, termasuk ayat yang
terakhir turun di Madinah. Sementara itu, surah Al Qashash turun pada waktu
perang Uhud. Sekali lagi kita ingatkan, Abu Thalib meninggal di Makkah sebelum
Nabi berhijrah. jadi antara kematian Abu Thalib `dan turunnya kedua ayat itu
ada jarak bertahun-tahun; begitu Pula ada jarak bertahun-tahun antara kedua
ayat tersebut.
Telaah yang mendalarn tentang sejarah Rasulullah saw. dan riwayat Abu
Thalib akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa Abu Thalib itu Mukmin. Lalu,
mengapa Abu Thalib menjadi kafir sedangkan Abu Sufyan menjadi Muslim, Abu
Thalib: adalah ayah `Ali. dan. Abu Sufyan adalah ayah Mu`awiyah. Ketika
Mu`awiyah berkuasa, dia berusaha mendiskreditkan ‘Ali dan keluarganya. Para
ulama disewa untuk memberikan fatwa yang menyudutkan keluarga Ali -lawan
politiknya, Bagi ulama, tidak ada senjata yang paling ampuh selain hadis. Maka
lahirlah riwayat-riwayat di atas.
Penutup
Karena campur tangan politik tidak jarang mencemari ajaran- ajaran Islam
dan mengotori tarikh Rasul Allah saw., setiap studi kritis -tentang sirah Nabi
saw harus digalakkan., Tujuan kita tidaklah untuk meragukan sunnah Nabi saw.
Tujuan kita justru untuk memper oleh sunnah Nabi yang meyakinkan kita. Lebih
baik kita mernperoleh keyakinan setelah keraguan daripada keraguan setelah
keyakinan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
[Artikel diatas diambil dari Tulisan Dr. Jalaluddin Rahmat dalam bukunya
“Islam Aktual”, Penerbit, Mizan, hal; 162-169]
Sumber :
http://www.facebook.com/note.php?note_id=465276721135